Oleh: Fadli Dason (Peneliti Profetik Institute)
Upos.id, Bermedia sosial tak ubahnya seperti berkehidupan – meskipun ala kehidupan virtual, atau kenyataan dalam dimensi virtual.
Bermedia Sosial seseorang bisa saja se-suka-sukanya asal jangan sampai merendahkan harkat dan martabat orang lain, menyerang pribadi, membuka aib, apalagi sampai melanggar hukum.
Dunia permedsosan barangkali akan baik-baik saja bila pihak-pihak tertentu tidak memasukkan permasalahan pribadinya dalam dunia virtual tersebut, menyelesaikan dendam nya dengan cara yang benar atau tidak merampas kepentingan seseorang demi kepentingan pribadinya.
Seseorang tidak perlu bersabar lagi untuk meluapkan kemarahannya hanya membutuhkan klik-klik di media sosial. Sadarkah kita bahwa kita berada diambang batas ketimpangan sosial bila saja zaman borderless ini terus-menerus kita gempur dengan tanpa batasan etikabilitas. Sikap saling menjatuhkan di media sosial telah merembes kemana-mana.
Ada pelaku ada korban, sadarkah dengan fakta bahwa korban akan mengalami ketersisihan dalam lingkungannya akibat malu? Atau sadarkah kita akan fakta bahwa terkadang pelaku akan merasakan kepuasaan tersendiri.
Meminjam Istilah Dawkins ; Selfish gene memang benar adanya, fakta bahwa ego manusia dipergunakan untuk menekan yang lainnya. Barangkali inilah alasan mengapa pemerintah Indonesia merasa perlu membentuk UU ITE.
Barangkali agar korban tidak berjatuhan, tapi bila dasar UU ITE dibentuk karena korbannya para politisi atau pejabat atau hanya melindungi kelompok tertentu maka konotasi UU ITE lebih kepada sebuah pembungkaman.
Teorinya adalah bahwa sebuah negara punya kewajiban untuk melindungi warga negaranya melalui aturan hukum, bukan sekelompok tertentu.
Lalu teori ini coba diperluas dengan menganalisis bahwa dalam sosial media facebook bila pihak-pihak tertentu memunculkan isu-isu agama dalam suasana politik yang biasa disebut sebagai politik identitas dimana posisi negara dalam hal ini penegak hukum? Dalam politik identitas yang dapat berdampak pada korban dengan status kepala daerah apakah disebut juga sebagai warga negara?
Masalahnya dalam suasana politik seringkali yang terkena hanyalah kelompok yang memang berkepentingan. Maka tidak mesti dikatakan bahwa ia warga negara yang berpolitik tapi kita hanya mengacu pada dasar aturan hukum itu dibuat yang memang kodratnya mengikat bagi seluruh warga negara sehinga baik kelompok tertentu, politisi, pejabat tetap dianggap sebagai warga negara selama mereka potensial jadi korban atas penyerangan melalui media sosial facebook.
Contohnya salah satu pengguna Facebook yang sedang hangat diperbincangkan di segmentasi masyarakat pengguna facebook Morowali Utara ; pengguna tersebut menulis di postingannya “saya ini kristen tidak akan pernah maju kalau orang-orang kristen munafik jadi pemimpin” dugaan kita tentu ia bermaksud menyinggung petahana sebab diketahui bahwa pemilik akun tersebut teridentifikasi berada di kubu yang berseberangan petahana.
Lalu dimana posisi negara dalam hal ini penegak hukum?
Penegak hukum tentu juga tidak dapat menyimpulkan bahwa pengguna akun tersebut adalah pelaku dikarenakan ia tidak menyebut nama tetapi ia menyebut agama yang berdampat pada politik identitas.
Maka hampir saja masuk dalam urusan penegakan hukum dan karena politik identitas maka seharusnya menjadi perhatian KPU dan Bawaslu yang harus memberi pendidikan politik bagi masyarakat.
Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum- Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda menjelaskan bahaya politisasi identitas dalam pemilu. Menurutnya, bahaya politisasi identitas yang dimaksud seperti adanya kekerasan atau kerusuhan berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Namun setidaknya setiap kita punya tanggung jawab untuk masa depan politik kita yang lebih sehat. Sehingga permasalahan yang ditimbulkan akibat isu politik identitas perlu dicarikan solusi. Bila negara melalui lembaga-lembaga yang bersangkutan tidak bertindak sangat memungkinkan di tahun 2029 akan terjadi lagi bila secara umum kita bertolak dari peristiwa pilkada 2017 (Ahok)