Oleh: Andi Husnaini*
Belanja citra, sebuah naskah monolog yang diperankan oleh Dwi Lestari Johan telah mengurai rindu kami akan teater konvesional di Kabupaten Wajo. Pertunjukan monolog ini diharapkan menjadi pemantik para penggiat seni pertunjukan di Kabupaten Wajo untuk menunjukkan eksistensinya.
Monolog “Belanja Citra” menggambarkan dengan indah perjuangan dua perempuan beda generasi yang harus menghadapi kegagalan pernikahan akibat beban uang panaik atau uang belanja sebagai salah satu syarat hantaran pernikahan pada suku Bugis. Cerita ini memperlihatkan ketidakberdayaan wanita akan tekanan budaya yang masih kental dalam masyarakat. Penyajian emosional dan penggambaran karakter yang mendalam memberikan dimensi yang kuat pada pertunjukan. Dengan dialog yang tajam dan narasi yang kuat, Dwi Lestari Johan dalam Monolog “Belanja Citra” berhasil menyentuh penonton sambil membangkitkan refleksi tentang norma-norma sosial yang kadang kala dapat merusak sebuah hubungan.
Sebagai pembuka pertunjukan, Dwi Lestari Johan berhasil menciptakan rasa penasaran dan ketegangan di antara penonton. Dengan sikap diam sambil menghisap rokoknya ia berhasil menghadirkan rasa keingintahuan penonton tentang karakter serta alur cerita yang akan diungkap dalam pertunjukan. Ada kecewa dan beban begitu berat yang dibangun pada latar suasana yang diciptakan di awal pertunjukannya.
Dwi Lestari Johan mampu dengan apik memerankan tokoh Andi Bunga Petta Caya yang diusia 50 tahun akan mengakhiri mahligai rumah tangganya dengan sang suami karena tak ada cinta di dalamnya. Walaupun dengan uang panaik yang jumlahnya fantastis tak ayal membuat pernikahannya bahagia, justru fakta mengejutkan bahwa suaminya telah berpoligami setelah 10 tahun lebih masa pernikahan. Emosi yang kuat sangat terasa saat Andi Bunga Petta Caya menguak fakta-fakta pernikahannya. Bagaimana orang tuanya menentang pernikahannya dengan sang kekasih dan harus menikah dengan suaminya dengan iming-iming kebahagiaan lantaran jumlah uang panaik yang nominalnya tinggi. Apakah di masyarakat kita sekarang ini telah membuat suatu stigma baru bahwa uang panaik tinggi akan mendatangkan kebahagiaan? Dan nyatanya dalam Monolog Belanja Citra stigma ini terpatahkan.
Andi Bunga Petta Caya ragu akan hakikat cinta, dengan keraguan itu ia mulai meyakinkan dirinya dengan membaca suatu surat cinta yang ia simpan. Surat cinta milik Puang Masri dari sang kekasih di masa lampau. Puang Masri yang sampai akhir hayatnya memilih tak menikah lantaran sang kekasih Hasan tak mampu memenuhi jumlah uang panaik yang fantastik oleh keluarganya. Bisa dibayangkan nominal uang panaik lima puluh juta ditahun 1980-an sesuatu hal yang mustahil diwujudkan pada masa itu.
Luar biasanya Dwi Lestari Johan berhasil menggiring emosional penonton dengan kepiawaian dalam menghidupkan karakter tokoh Andi Bunga Petta Caya dan Puang Masri dengan menyelami setiap karakter secara mendalam, ia mampu mengubah emosi, intonasi suara, gestur tubuh sesuai dengan kepribadian setiap tokoh. Transisi yang mulus antar karakter menciptakan koneksi emosional yang kuat, penonton merasakan perjalanan kompleks yang dihadapi dua sosok perempuan tersebut. Keahlian dalam membawa penonton melalui rentang emosi yang beragam memberikan dimensi kekayaan pada pertunjukan ini.
Satu hal yang juga menjadi hal yang menarik pada pertujukan Monolog Belanja Citra ini selain keaktorannya. Penggunaan slide video digital untuk menggambarkan suasana Puang Masri di masa lampau mampu memadukan hal kekinian dalam sebuah pertunjukan konvensional. Ini merupakan hal baru sehingga teater konvensional tidak kaku dalam pertunjukannya.
Ada satu hal lagi yang membuat saya tak henti-hentinya berdecak kagum selama pertunjukan monolog ini berlangsung. Kepiawaian sang aktor dalam hal bernyanyi. Dwi Lestari Johan mampu menghipnotis penonton lewat Lagu “Mate Colli”. Lantunan suaranya yang merdu, mampu menambahkan dimensi emosional yang mendalam, menyayat hati, membangun suasana kesedihan dan keputusasaan.
Pertunjukan monolog Belanja Citra di gedung Universitas Puangrimaggalatung Kabupaten Wajo ditutup dengan diskusi epik mengenai fenomena uang panaik di masyarakat suku Bugis dan Makassar. Diskusi tersebut menjadi puncak yang merangsang pikiran, memberikan kedalaman, dan meresapi makna dari Monolog Belanja Citra. Mengapa uang panaik seolah-olah menjadi satu-satunya syarat pernikahan yang harus dipenuhi oleh masyarakat? Kenapa uang panaik menjadi tolak ukur akan derajat manusia? Apakah perempuan harus selalu pasrah dan menyerahkan nasib pernikahannya kepada kedua orang tuanya sebagai penentu pernikahan? Kapan perempuan dapat bersuara tentang itu? Apakah uang panik dibelanjakan untuk membeli citra di masyarakat?
*Penulis adalah seorang guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP 3 kota Sengkang Kabupaten Wajo.