Oleh: Sri Wahyuni Akil (Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unismuh Makassar)
Upos.id, Makassar 22/12/2024, Keputusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unismuh Makassar untuk menyelenggarakan Musyawarah Besar (Mubes) baru-baru ini menuai sorotan tajam dari kalangan mahasiswa dan aktivis kampus. Mubes yang seharusnya menjadi wadah untuk membahas isu strategis dan menentukan arah organisasi tersebut, kini hanya dipandang sebagai sebuah ritual formalitas yang tidak mencerminkan semangat demokrasi yang seharusnya ada dalam organisasi mahasiswa.
Kondisi internal pengurus BEM saat ini juga menunjukkan kerusakan yang signifikan. Ketidakmampuan dalam mengelola konflik internal, serta lemahnya komunikasi dan koordinasi antar pengurus, memperburuk keadaan. Alih-alih bekerja sebagai satu kesatuan untuk memajukan organisasi, pengurus BEM malah terpecah belah dan seringkali terjebak dalam permasalahan pribadi yang mengganggu jalannya kepengurusan. Komunikasi yang buruk antara pengurus BEM menjadikan koordinasi tidak berjalan dengan efektif, membuat pengambilan keputusan terhambat, dan memperburuk keretakan internal.
Lebih parah lagi, pola kepemimpinan dalam tubuh BEM FISIP Unismuh Makassar menunjukkan cacat yang tak terperbaiki.
Selain itu, ketidaksiapan dalam menyusun Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) menjadi sorotan utama dalam Mubes ini. Proses pertanggungjawaban yang seharusnya jelas dan terperinci malah disajikan dengan cara yang terburu-buru dan tidak profesional. LPJ yang disodorkan penuh dengan ketidakjelasan dan kekurangan data, membuat banyak pihak mempertanyakan akuntabilitas pengurus yang lama. Hal ini semakin memperburuk citra BEM sebagai organisasi yang seharusnya mengedepankan transparansi dan kredibilitas.
“Mubes yang seharusnya menjadi ruang refleksi dan evaluasi malah dipandang sebagai ajang pencitraan dan pemaksaan keputusan. Ketika kondisi internal semakin memburuk, BEM yang dulunya dipercaya sebagai lembaga yang memperjuangkan mahasiswa kini lebih sering menjadi alat untuk menutupi kegagalan kepemimpinan. Jika BEM terus dibiarkan berada dalam keadaan seperti ini, maka bukan hanya kredibilitas organisasi yang terancam, tetapi juga masa depan peran lembaga ini dalam dunia kampus yang akan semakin hilang”, ungkap Sri Wahyuni (Ketua Umum Himjip FISIP Unismuh Makassar)
Fenomena ini semakin memunculkan pertanyaan besar: Apakah BEM yang seharusnya menjadi suara dan wadah perjuangan mahasiswa kini hanya menjadi alat formalitas yang tak memiliki kekuatan nyata? Tidak sedikit mahasiswa yang merasa kecewa dan tertipu oleh janji-janji reformasi yang pada kenyataannya, hanya berujung pada kecacatan pola kepemimpinan pada satu periodesasi tersebut.