Oleh: Fahrul Dason (Ketua BEM FAI Unismuh Makassar)
Kalian pasti sudah tidak asing dengan kalimat “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Dalam sejarah bangsa Indonesia, kita mengenalnya sebagai teks Proklamasi. Ketika bangsa Indonesia masih berusia sangat belia—sekitar satu bulan setelah berdirinya sebuah bangsa—pemerintahan Jepang tidak sepenuhnya lenyap sebagai kolonial. Saat itu, rakyat merasa Indonesia membutuhkan kedaulatan sebagai satu bangsa. Namun, kemerdekaan hanya terasa sepihak, sehingga para pemuda yang tergabung dalam Komite Van Aksi memotori berbagai gerakan pemuda di Jakarta.
Komite Van Aksi-lah yang mempelopori rapat raksasa di lapangan Ikatan Atletik Djakarta (IKADA). Komite ini sebelumnya juga mendesak Presiden Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat Jepang menyerah kepada Sekutu, masa itu kita kenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Di antara pemuda dari Komite Van Aksi terdapat Sukarni, Adam Malik, dan beberapa lainnya yang kemudian mendesak dan meyakinkan Presiden Soekarno, Mohammad Hatta, dan seluruh menteri tentang kemungkinan terburuk yang dapat dilakukan oleh pihak Jepang, yang dapat merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Rapat raksasa di IKADA pun segera diadakan.
Peristiwa rapat raksasa itu terjadi pada 19 September 1945 di lapangan IKADA, yang kini menjadi lokasi Monumen Nasional (Monas). Dalam sejarah Indonesia, aksi IKADA adalah yang pertama dan terbesar yang dilakukan oleh rakyat dan pemerintah. Tercatat sekitar 300.000 massa aksi memenuhi lapangan IKADA, bahkan membuat Soekarno, yang dikenal berapi-api, terkejut dengan antusias rakyat saat itu. Rapat itu adalah memoar yang tidak bisa terlupakan; mungkin bagian ini adalah salah satu yang terpenting. Sehingga Soekarno tak segan mengatakan, “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia.” Walaupun kutipan ini terlampau jauh dari peristiwa 19 September, itu dibangun dari pengalaman Soekarno, termasuk peristiwa rapat raksasa di lapangan IKADA.
Rapat raksasa itu berlangsung sangat singkat, hanya sekitar lima menit. Sebab Presiden Soekarno memberikan pidato yang singkat. Namun, meskipun singkat, aksi tersebut mampu mempercepat roda revolusi. Ini bukan hanya sekadar kepastian yang tak kunjung tiba, tetapi bagian dari manifesto rakyat dan pemerintahan sebagai gerakan politik melawan kolonial Jepang.
Tujuan diadakannya Rapat Raksasa di Lapangan IKADA adalah sederhana: bagaimana para pemimpin negara berbicara di hadapan rakyat untuk menegaskan bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya dan akan mempertahankan kedaulatan negara yang baru berusia satu bulan. Lapangan IKADA saat itu telah dipadati oleh rakyat dari berbagai daerah. Meskipun diblokade oleh tentara Jepang, semangat untuk kepastian berdaulat tidak sirna, meski kendaraan lapis baja menghalangi.
Gerakan ini juga berfungsi untuk menunjukkan kewibawaan pemerintah RI kepada rakyatnya. Sebelumnya, propaganda Belanda tersebar luas yang menyatakan bahwa Presiden Soekarno adalah antek-antek Jepang. Rapat raksasa IKADA merupakan bentuk untuk membantah tudingan tersebut kepada seluruh dunia, bahwa di bawah pemerintahan Soekarno-Hatta, mereka didukung penuh oleh rakyat.
Aksi ini tidak akan pernah dilupakan oleh Soekarno. Bayang-bayang pemuda meyakinkannya bahwa bangsa ini akan besar. Sebagai negarawan, Soekarno begitu optimis dengan potensi yang dimiliki pemuda, tetapi Soekarno juga adalah seorang manusia yang tidak luput dengan sikap pesimis terhadap bangsa kedepannya. Sehingga, salah satu kata-kata Soekarno yang sering kita dengar: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Pidato ini disampaikan saat Hari Pahlawan 10 November 1961, dan dia sadar betul bahwa tantangan ke depan bagi bangsa Indonesia adalah pertikaian sesama bangsa. Setelah bangsa Indonesia bersatu mengusir para penjajah, lawan rakyat saat itu—penjajah—jelas. Rapat raksasa IKADA yang dilakukan di bulan September merupakan bentuk perlawanan. Namun, sejarah bulan September tidak berhenti di situ. Di tahun-tahun berikutnya, bulan ini menjadi saksi berbagai peristiwa tragis dan kontroversial.
Bulan September memang bulan perlawanan dan perjuangan. Namun, setelah bangsa ini diakui dan berdaulat sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), perjalanan dan tantangannya datang bertubi-tubi, seperti pembantaian Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI), Tragedi Tanjung Priok 13 September 1984, Tragedi Semanggi II 24-28 September 1999, pembunuhan Munir 6 September 2004, dan banyak lagi.
Tragedi-tragedi yang terjadi akan pelanggaran HAM itu, membuat bulan September dikenal sebagai ‘September hitam’ dimana seluruh aktivis akan memperingatinya sebagai momentum bersatu melawan penindas-penindas yang hari ini masih bekeliaran di luar sana tanpa pernah diadili, bahkan negara diam saja, tidak berperan sama sekali, bagaikan penjajah-penjajah yang harus diberantas, dan dibabat habis.
Antara perjuangan dan masa kelam, Indonesia memiliki memoar kelam yang tidak boleh dilupakan. Menolak lupa, merawat ingatan, dan jangan sampai melupakan sejarah—sejarah bukan hanya tentang mengenang masa lalu. Lebih dari itu, sejarah adalah tugas kemanusiaan untuk mengingat perjuangan dan perlawanan. Seperti yang dikatakan Ali Syariati, seorang pemikir Muslim Iran, “Setiap waktu adalah asyura, dan setiap tempat adalah karbala.” Maka, bagiku—“Setiap waktu adalah perlawanan, dan setiap tempat adalah IKADA.” Inilah ‘September Hitam,’ bulan yang penuh tragedi kemanusiaan. Dengan demikian, setiap pemuda Indonesia—generasi yang lahir hari ini—akan menanggung sejarah kelam, yang mana kita semua memiliki tugas kemanusiaan dalam melanjutkan perjuangan melawan penindas-penindas rakyat di luar sana.