Opini oleh: Fachrul Aditya (Wakil Ketua Bidang Polhukam Garda Nusantara Makassar)
Peringatan Internasional Women Day (IWD) 2023 baru saja lewat pekan lalu, salah satu isu menarik yang mengemuka sebenarnya adalah keterkaitan antara perempuan dan isu lingkungan yang lebih dikenal sebagai kajian ecofeminisme. Terutama soal sampah.
Merujuk data dari project multatuli.org dalam laporan tentang tumpukan sampah plastik tanggal 2 maret 2023, yang dikutip akun instagram greenpeace.id sumber terbesar sampah berasal dari rumah tangga yakni sebesar 43,3% urutan kedua terbesar datang dari pasar tradisional sebesar 24,1%. Masih dari sumber yang sama di atas, yang mengutip Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022. Setiap harinya di Indonesia menghasilkan sampah 175 ribu ton dengan klaim bahwa pemerintah dengan beberapa program pengolahan sampah mampu mengolah hingga 77% sampah, artinya 23% sisanya tertinggal menjadi gunung sampah.
Pada 2022 kemarin saja timbunan gunung sampah tersebut 18.89 juta ton. Timbunan itu menumpuk sesak di TPA atau menjadi pulau buatan di laut. Project Multatuli merata-ratakan sampah yang tidak terkelola per tahunnya sebesar 4.27 juta ton. Sampah yang tidak terkelola tersebut adalah sampah non-organik berupa plastik. Sampah tersebut berasal dari produsen industri makanan minuman instant, sabun cuci atau perawatan tubuh atau kebutuhan rumah tangga yang berbentuk saset seperti shampo atau pengharum ruangan. Inilah mengapa sumber terbesar sampah di TPA berasal dari rumah tangga. Alih-alih menunjuk produsen tersebut sebagai pihak yang bertanggung jawab, kita seringkali melihat ibu rumah tangga sebagai pihak yang dikambing hitamkan atas masalah tersebut. Sampah yang tak terkelola yang semakin lama kian menggunung tersebut menyumbang rasa sakit bagi bumi yang sulit mengurai secara alami sampah tersebut. Saat yang sama atas nama pertumbuhan cepat ekonomi kita masih sangat bergantung pada pengolahan dan penggunaan energi fosil yang menyiksa ozon dan mempercepat krisis iklim dengan pemanasan suhu bumi serta mengeruk habis-habisan perut bumi. Sampah plastik dan sumber energi fosil yang merusak lingkungan ini adalah hasil obsesi kapitalisme yang berwatak eksploitatif manusia dengan menempatkan manusia pada hirarki puncak kekuasaan di alama semesta ini. Dengan asumsi manusia berhak dan merekalah yang bisa mengeruk kekayaan alam lebih banyak dari yang dibutuhkan dengan dalih populasi manusia yang makin besar, padahal kita sesungguhnya hanya memenuhi kebutuhan keserakahan kita. Situasi tersebut juga dialami perempuan dalam konstruksi sosialnya. Karena relasi kuasa dalam sistem menjadikan laki-laki puncak dalam hirarki kekuasaan yang mengakibat ketimpangan dan eksploitasi. Bahkan dalam konteks sampah tadi ibu rumah tangga menjadi sasaran kambing hitam. Padahal bila ditilik dalam feminis -cara pandang kesetaraan laki-laki dan perempuan- relasi yang terjadi antara perempuan dan alam berada dalam posisi setara dan saling berkegantungan. Menurut Saras Dewi, Dosen Filsafat Universitas Indonesia yang juga adalah aktivis feminis dan seniman ini; “Perempuan merupakan korban dari suatu sistem yang bertumpu pada ketimpangan dan eksploitasi. Demikian juga yang terjadi pada alam, gerakan ekofeminis di dunia muncul sebagai reaksi protes terhadap ketimpangan tersebut.”
Karena itu perjuangan atas lingkungan hidup adalah perjuangan pada keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan yang menghilangkan dualitas antara privat dan publik, hirarki dalam relasi kuasa. Juga dengan menghadirkan cara pandang perempuan dalam gerakan lingkungan hidup selain mengedepankan kepemimpinan perempuan tersebut. Sebagai contoh, sampah plastik baik dari produk makanan dan minuman serta yang menyerbu rumah tangga dan biang kerok timbunan sampah yang tak terkeola itu adalah hasil dari watak kapitalisme yang menyuguhkan produk yang praktis sekali pakai. Karena motifnya keuntungan yang sebesar-besarnya hingga diproduksi secara massif dan terjangkau serta dalam skala jumlah yang melimpah.
Padahal watak feminisme adalah selaras dengan alam, cinta kasih, memelihara, merawat dan mendaur ulang. Bukan sebuah kebetulan bahwa bumi diasosiasikan sebagai ibu. Tanah air sebagai ibu pertiwi. Gerakan lingkungan hidup sesungguhnya lahir dari keresahan wilayah domestik perempuan yang karena sistem patriarki membatasi perempuan dalam wilahah domestiknya. Yang merasakan pertama bagaimana air tercemar akibat kegiatan penambangan misalnya adalah ibu rumah tangga yang mengeluh air tanah atau sumur atau misalnya air pdam yang tersendat sementara mereka harus mencuci.
Saat yang sama mereka juga yang kerap berurusan dengan merawat lingkungan hidup. Mulaj dari urusan sampah rumah tangga hingga urusan merawat tanaman dan membersihkan rumah.(#)