BudayaOPINIBuramnya Masa Depan Pemuda: Antara Aktivis atau Predator?

Buramnya Masa Depan Pemuda: Antara Aktivis atau Predator?

Oleh: Ayu Andira (Aktivis Perempuan)

Kasus yang melibatkan Ilham Yusuf, seorang aktivis mahasiswa, sebagai pelaku pelecehan seksual melalui media sosial bukan hanya melukai para korban tetapi juga mencoreng martabat aktivis, mahasiswa, dan generasi muda. Aktivis seharusnya menjadi pelopor kebenaran, pembela kaum lemah, dan penjaga nilai-nilai moral. Namun, ketika seorang yang mengaku aktivis justru menjadi pelaku kejahatan seksual, ia telah mengkhianati prinsip dasar yang ia perjuangkan.

Sebagai perempuan, saya merasa sangat geram dan terluka. Aktivis bukanlah sekadar gelar, melainkan tanggung jawab moral yang besar. Ketika seorang aktivis melibatkan diri dalam tindakan tercela seperti ini, ia telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap perjuangan aktivisme itu sendiri. Di saat perempuan masih terus berjuang mendapatkan ruang aman di dunia nyata dan digital, kasus seperti ini semakin menunjukkan betapa banyak ruang yang masih belum berpihak kepada kami.

Ketidaklayakan Menyandang Gelar “Mahasiswa Berpendidikan” 

Mahasiswa, terutama aktivis, seharusnya menjadi cerminan dari intelektual muda yang kritis, berintegritas, dan bermoral. Namun, ketika seseorang seperti Ilham Yusuf menggunakan posisi dan jabatannya untuk melancarkan tindakan yang merendahkan martabat perempuan, ia tidak layak disebut sebagai manusia berpendidikan.

Pendidikan bukan hanya tentang kemampuan akademis atau retorika yang baik, melainkan juga tentang moralitas, empati, dan tanggung jawab sosial. Jika akal sehat dan nilai moral telah terkikis oleh nafsu, maka segala pencapaian pendidikan hanyalah topeng belaka.

Pelecehan seksual, baik secara fisik maupun digital, tidak hanya meninggalkan luka mendalam pada korban, tetapi juga menciptakan trauma berkepanjangan yang sulit dihapus. Laki-laki seperti ini tidak hanya menghancurkan masa depan korban-korbannya, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap perjuangan generasi muda.

Perempuan Menjadi Korban dalam Ruang yang Tidak Aman

Kasus ini kembali menunjukkan bahwa perempuan sering kali menjadi korban dalam ruang sosial yang tidak aman. Dunia digital, yang seharusnya menjadi tempat untuk berekspresi dan berkomunikasi, kini menjadi ladang bagi predator-predator yang memanfaatkan kelemahannya. Sebagai perempuan, saya merasakan betapa mengancamnya situasi ini.

Perempuan adalah makhluk sosial yang keberadaannya sangat berarti dalam berbagai lini kehidupan. Namun, tindakan oknum seperti Ilham Yusuf membuat kami terus merasa terancam, bahkan di ruang yang seharusnya memberikan rasa aman. Lebih menyakitkan lagi, pelaku membawa-bawa nama suku Kajang, sebuah suku di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan kearifan lokal dan nilai-nilai luhur. Sebagai anak asli suku Kajang, saya merasa malu dan tersakiti mengetahui nama suku kami dicemarkan oleh perilaku amoral seperti ini. Namun, perlu ditegaskan, ini bukan soal suku atau organisasi tertentu, tetapi tentang moralitas individu.

Harapan Perempuan dan Masyarakat untuk Efek Jera

Sebagai perempuan, saya sangat berharap kepada seluruh elemen masyarakat untuk tidak memberikan keberpihakan atau pembenaran terhadap pelaku pelecehan seksual. Pelaku harus diberikan sanksi tegas dan dihukum seberat-beratnya, bukan hanya untuk memberikan keadilan kepada korban, tetapi juga untuk menciptakan efek jera bagi orang-orang yang berniat melakukan tindakan serupa.

Efek jera ini penting agar mereka yang berpotensi menjadi pelaku berpikir seribu kali sebelum merendahkan martabat orang lain. Ketegasan kita sebagai masyarakat dalam menolak pelecehan seksual adalah bentuk nyata dari perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak, serta perjuangan menjaga moralitas bangsa.

Ini Suara Perempuan, Suara Kebenaran yang Tidak Boleh Dibungkam

Kasus ini bukan sekadar insiden individu, melainkan cerminan dari masalah sosial yang lebih besar. Ini adalah suara perempuan, suara kebenaran yang tidak boleh dibungkam oleh siapa pun. Perempuan telah cukup lama menjadi korban dari sistem yang abai terhadap perlindungan hak-hak kami.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi perempuan. Mulai dari diri sendiri, lingkungan terdekat, hingga level kebijakan, semua elemen harus bersatu melawan pelecehan seksual dalam bentuk apa pun. Jangan biarkan pelaku berlindung di balik jabatan, organisasi, atau identitas budaya.

Kejadian ini harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua bahwa moralitas adalah kunci utama dalam membentuk karakter pemuda. Tanpa moralitas, pendidikan dan organisasi hanyalah simbol kosong. Saatnya kita bergerak bersama, mendengar suara perempuan, dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[tds_leads input_placeholder="Your email address" btn_horiz_align="content-horiz-center" pp_msg="SSd2ZSUyMHJlYWQlMjBhbmQlMjBhY2NlcHQlMjB0aGUlMjAlM0NhJTIwaHJlZiUzRCUyMiUyMyUyMiUzRVByaXZhY3klMjBQb2xpY3klM0MlMkZhJTNFLg==" pp_checkbox="yes" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLXRvcCI6IjMwIiwibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjMwIiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tdG9wIjoiMjAiLCJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMjAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" display="column" gap="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTAifQ==" f_msg_font_family="702" f_input_font_family="702" f_btn_font_family="702" f_pp_font_family="789" f_pp_font_size="eyJhbGwiOiIxNCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTIifQ==" f_btn_font_spacing="1" f_btn_font_weight="600" f_btn_font_size="eyJhbGwiOiIxNiIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxMyJ9" f_btn_font_transform="uppercase" btn_text="Subscribe Today" btn_bg="#000000" btn_padd="eyJhbGwiOiIxOCIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxNCJ9" input_padd="eyJhbGwiOiIxNSIsImxhbmRzY2FwZSI6IjEyIiwicG9ydHJhaXQiOiIxMCJ9" pp_check_color_a="#000000" f_pp_font_weight="500" pp_check_square="#000000" msg_composer="" pp_check_color="rgba(0,0,0,0.56)"]

Berita terkait

Berita Terbaru