Oleh: Fadli Dason (Peneliti Profetik Institute)
UPOS.ID Tepo Asa Aroa yang berarti menyatukan hati. Slogan morut, yang tidak asing terdengar berasal dari peribahasa suku mori. Bumi tepo asa aroa berarti bumi yang mampu menyatukan hati orang-orang yang berdiri diatasnya, peribahasa yang juga slogan morut ini tentu sangat tepat melihat morowali utara sebagai kabupaten yang terdiri dari bermacam suku bangsa. Sehingga, termasuk sebagai kabupaten yang multikultural.
Penduduknya juga cukup beragam dalam keagamaan. Data dari Kementerian Agama, sekitar 52,82% (66.981 jiwa) memeluk agama Islam. Pemeluk agama Kristen juga cukup signifikan yakni 44,77% (56.771 jiwa), dimana Protestan 39,62% (50.239 jiwa) dan Katolik 5,15% (6.532 jiwa). Kemudian Hindu 2,23% (2.825 jiwa) dan sebagian kecil beragama Buddha yakni 0,18% (222 jiwa).
Sebagai kabupaten yang multikultural tentu toleransi dan kesatuan hati adalah hal yang utama untuk tetap dijaga menjelang pilkada morut 2024. Pilkada hanyalah momentum, apa yang ada lalu hilang itulah momentum, namun kesatuan hati dan kerukunan merupakan kekuatan abadi, kodrat manusia adalah perbedaan itu sendiri. Manusia dilahirkan berbeda-beda, maka momentum pilkada hanyalah akses yang memungkinkan kita dengan perbedaan itu sendiri, perbedaan tidak mengharuskan terjadinya gesekan melainkan kesamaan kita mengurai niat yang suci, sebab masing-masing kita memiliki hati; tempatnya niat suci.
Dalam waktu dekat pilkada akan dihelai terdapat 10 Kecamatan, 3 Kelurahan dan 122 Desa dan jumlah penduduk sebesar 117.164 jiwa yang akan menentukan pilihannya, one man one vote. Berbeda dari wilayah yang monokultur bisa dipastikan bahwa kabupaten dengan multikultur ini tentu lebih tajam secara metodologis dalam menanggapi berbagai isu. Keragaman memberikan kepekaan sosial, interaksi multikultural membuat tindakan lebih dituntun pada akal budi contohnya interaksi antara agama yang berbeda yang akan menuntun seseorang untuk melihat tapal batas etika-etika antara kedua agama. Alasan tersebut merupakan hal yang positif pada perhelatan pilkada nanti karena kepekaan sosial merupakan salah satu penunjang pilkada yang bermartabat.
Bagaimana masyarakat multikultural cerdas dalam menentukan pilihan pada pilkada nanti?
Kepekaan sosial dari masyarakat yang multikultural menuntun pilihan seseorang yang cenderung menggunakan akal budi. Tuntunan akal budi lebih menjamin kapasitas kecerdasan dalam memilih pemimpin. Pertama adalah kemandirian yang berarti pengaruh pilihan sendiri termasuk niat, dan kemantapan hati akan menjadi komitmen yang utama yang tidak akan goyah terhadap godaan-godaan politik pragmatis dan tekanan-tekanan irasional oleh kelompok tertentu. Kedua adalah pembelajaran, yang berarti untuk memberikan suara kepada pemimpin dijadikan sebagai ajang untuk menambah pengetahuan, banyak hal yang perlu dipejari termasuk pilkada itu sendiri dan bagaimana seharusnya memilih pemimpin yang tepat untuk suatu kabupaten yang multikultur. Tentu dengan memperkaya pengetahuan kita menjelang pilkada akan lebih mampu menjadi katup pengaman yang ampuh untuk menyeleksi para kandidat sehingga menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Ketiga adalah tidak terburu-buru memberikan suara, yang berarti dengan tenang dan tetap dengan perasaan yang damai, cara ini dimaksudkan untuk menahan tindakan yang tergesa-gesa yang dengan itu justru memberikan ruang kepada pikiran untuk mengolah kecerdasan sehingga pemberian suara sangat memungkinkan berasal dari pilihan rasional.
Tepo Asa Aroa. Kesatuan hati dalam menyelaraskan perbedaan. Sebagai kabupaten dengan ragam kultur membentuk kecerdasaan-kecerdasaan dari kebiasaan hidup rukun yang saling berdampingan. Cerdas memilih, Morut sejahtera, semakin cerdas pemilihnya semakin berkualitas pemimpinnya maka semakin sejahtera pula bumi-nya.