Penulis: Fakra Rauf
DALAM seni pemeranan, seorang aktor tengah memerankan karakter yang lain yang bukan dirinya. Contohnya seorang aktor memerankan tokoh ayah paruh baya yang sangat perfeksionis dan protektif terhadap anak-anaknya. Semuanya tergambar dari make-up, kostum, gestur (bahasa tubuh) dan juga dialognya.
Sementara dalam seni pemeranan seperti teater konvensional unsur-unsur keaktoran, pemeranan, artistik, hingga bloking dan vokal adalah hal-hal mendasar yang perlu dikuasai untuk bermain teater. Namun, bagaimana bila aktivitas teater ini dilakoni oleh penyandang Disabilitas sekaligus terkait urusan penyandang Disabilitas bisa mengakses untuk mengapresiasi sebuah pertunjukan Teater. Dalam hal ini maka kesenian harus bersifat inklusi.
Ini juga berkaitan dengan apakah kesenian sebagai suatu produk kebudayaan kita bisa bersifat inklusi sekaligus berfungsi inklusi. Dalam teater, orang akan menggunakan fungsi inderawinya. Visual, suara, hingga bau yang akan ditangkap inderawi lalu diserap untuk dimaknai atau diresapi. Tahap pertama adalah kesan hiburan apakah orang puas atau tidak puas, apakah orang terhibur atau tidak lalu ke tahap kedua apakah orang mendapatkan pesan dari pertunjukan yang ditontonnya dan apakah mereka terpengaruh dan kemudian terdorong untuk melakukan apa pesan atau amanat dalam Pertunjukan. Hal lain adalah meruang. Meruang bukan hanya dalam konteks abstrak tapi juga yang paling nyata adalah, karena salah satu ciri teater konvensional Pertunjukan terjadi secara meruang dan dalam waktu yang serempak dengan penonton mengapresiasi. Maka ruang harus aksesibilitas atau dapat diakses.
Workshop Teater untuk Penyandang Disabilitas yang dikerjakan aktor dan sutradara Teater , Syahrini Andiryani yang mengerjakan program Indonesiana, sebuah platform program kerja kebudayaan dari Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional ini menjawab pertanyaan yang mengemukaka di awal tulisan ini. Program Indonesiana memang mensyaratkan subyek yang terdampak program adalah salah satunya disabilitas. Yang berarti Kementerian melalui Dirjen Kebudayaannya mendorong produksi kebudayaan seperti kesenian teater kita bisa bersifat inklusi.
Syahrini mengaku ia pernah terlibat membantu penyandang Disabilitas dalam aktivitas kesenian yakni menari. Namun memfasilitasi dan menggarap Teater yang dimainkan Disabilitas adalah pertama kali baginya. Itu menjadi tantangan tersendiri pendekatannya tentu sangat berbeda apalagi 10 peserta workshop yang dibuatnya ini adalah remaja yang awam sama sekali tentang teater. Walaupun beberapa punya potensi misalnya ada yang punya kemampuan vokal yang bagus dan ada juga yang sudah akrab dengan puisi dan pernah menari. Tapi 10 peserta ini tetap membutuhkan pendamping dari unsur non disabilitas baik dari organisasi Disabilitas -program ini mengajak Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel bekerja sama – atau tenaga pendamping terdidik dan profesional untuk mendampingi penyandang Disabilitas bahkan juga ada yang didampingi orang tuanya.
Pun, Teater juga sebenarnya dilakoni oleh beberapa penyandang Disabilitas rungu dan wicara. Namun, yang terlibat dalam workshop adalah gabungan beberapa Disabilitas seperti netra, mantan kusta, daksa dan low vision. Menarik dan menjadi tantangan bagi workshop untuk memperkenalkan materi-materi teater seperti keaktoran, penyutradaraan, artistik dan manajemen produksi.
Maka lahirlah, pertunjukan “Sepuluh Cerita – cerita di Atas Panggung” yang disutradarai langsung oleh Syahrini Andriyani dengan dukungan artistik lighting dan sound standar namun profesional di bidangnya. Bahkan, workshop bergulir sejak 22 Juli dan latihan 3 hari setelahnya muncul gagasan untuk menjadikan juru bicara isyarat sebagai bagian dari pertunjukan. Juga teks-teks yang dibangun lahir dari gagasan para pemain sendiri. Mereka mengungkapkan harapan dan hambatannya sebagai penyandang Disabilitas.
Maka panggung pertunjukan bagi 10 penyandang Disabilitas ini menjadi medium mengungkapkan gagasan dan perasaan mereka. Mereka memainkan peran sebagai dirinya sendiri bukan orang lain. Posisi ini dikenal sebagai seni fungsional yang menjadi Kesenian sebagai sesuatu yang berfungsi menyampaikan pesan moral atau bentuk propaganda kampanye. Namun lebih realis seperti digtum dalam seni realis yang merepresentasikan sebenarnya kenyataan sebagai suatu kebenaran dan diungkapkan oleh subyek tema itu sendiri. Misalnya karya dengan tema kemiskinan kota, yang disajikan sesuai dengan kenyataan oleh rakyat miskin kota itu sendiri.
Beberapa simbol-simbol artistik menjadi penguat pesan. Ayunan yang dimainkan sah satu aktor memberi pesan bahwa masa kecil mereka terhambat oleh keadaan yang tidak mereka pilih. Kursi-kursi diseret dari belakang layar sambil menyatakan harapan dan hambatan mereka seperti salah satu aktor yang ingin menjadi orang sukses agar ia bisa menjadi mandiri dan membantu orang tua dan sekitarnya. Pesan-pesan mereka adalah sesuatu yang biasa dan sama dirasakan oleh mereka yang non disabilitas. Seolah mereka ingin bilang “mengapa kami dianggap berbeda dan tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang sama sebagai warga negara dan sebagai manusia”
Workshop Teater ini bisa saja menjadi pemantik untuk opsi strategi advokasi penyandang Disabilitas alih-alih sebagai bentuk celah mengekploitasi. Juga bagi estetika bisa memunculkan suatu sintetis estetis dan konsep teater yang benar-benar inklusi.(#)