Oleh: Aulia Tul Maulida (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unismuh)
Upos.id, Pangkajene dan Kepulauan, 21 November 2024 Di tengah hiruk pikuk Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Muhlis (44 Tahun), seorang pedagang minuman yang berjualan di sekitar Taman Kota Bambu Runcing, membagikan kisah perjalanan usahanya dan harapannya tentang kondisi pedagang kaki lima dilokasi yang telah menjadi pusat kuliner malam kota tersebut.
Sejak tahun 2019, Muhlis bersama istrinya telah merintis usaha minuman bubuk di kawasan Taman Kota Bambu Runcing. Setiap hari, mereka dengan tekun membuka lapak dari pukul 16.00 hingga 00.00 WITA, melayani berbagai pelanggan yang datang untuk menikmati minuman segar buatannya.
“Dalam hari-hari biasa, kami bisa menjual sekitar 20 gelas. Namun, ketika akhir pekan tiba, penjualan bisa meningkat hingga 30-50 gelas. Tentu saja, cuaca sangat mempengaruhi pendapatan kami, terutama saat musim hujan,” ungkap Muhlis sambil menyiapkan pesanan pelanggan.
Ia juga menambahkan bahwa terkadang ada situasi khusus yang memaksa mereka untuk tidak berjualan. “Biasanya juga kami tidak berjualan jika adanya penilaian adu pura, kami tidak berjualan 2-3 hari lamanya,” jelasnya.
Meski dikelilingi oleh berbagai pesaing yang menjual produk serupa, Muhlis tetap mempertahankan optimismenya. Ia yakin bahwa setiap pedagang memiliki rezekinya masing-masing.
Dengan menawarkan minuman bubuk kekinian berkualitas tinggi namun tetap terjangkau, ia percaya dapat mempertahankan pelanggan setianya. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pedagang lain yang lebih memilih menjual minuman sasetan dengan kualitas yang menurutnya lebih rendah.
Namun, di balik kesibukan para pedagang, terdapat permasalahan yang cukup pelik. Keberadaan pedagang kaki lima di Taman Kota Bambu Runcing sebenarnya tidak diperbolehkan oleh pemerintah setempat karena dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan tata kota serta ketenteraman masyarakat.
“Tapi pemerintah juga harus tahu, bahwasanya yang berdagang di wilayah sekitar Bambu Runcing adalah masyarakat UMKM kelas bawah yang menjadikan tempat ini untuk mencari nafkah,” tegas Muhlis. Ia menyoroti fakta bahwa berdasarkan survei BPS Sulsel tahun ini, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan menduduki posisi pertama sebagai kabupaten termiskin.
Para pedagang sendiri berusaha untuk tetap bertanggung jawab terhadap lingkungan. “Kami juga sadar diri, setiap selesai berdagang, kami pastinya membersihkan area jualan,” tambahnya.
Meskipun sering terdengar desas-desus tentang penggusuran dan penertiban oleh Satpol PP, hingga saat ini belum ada tindakan tegas yang diambil. Pemerintah sebenarnya telah memberikan kebijakan yang memungkinkan pedagang untuk berjualan di sekitar taman kota, dengan syarat mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
Salah satu keluhan utama Muhlis adalah mengenai penataan area berdagang yang kurang teratur. “Tatanan yang kurang mendukung membuat tampilan pola penempatan gerobak atau tenda menjadi abstrak dan merusak estetika keindahan taman,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Muhlis dan para pedagang lainnya memiliki harapan agar pemerintah dapat menyediakan gerobak atau tenda yang seragam untuk meningkatkan daya tarik visual kawasan tersebut. “Kami bahkan siap jika diminta untuk berkontribusi dalam pembiayaan. Yang penting adalah terciptanya tatanan yang lebih menarik untuk dikunjungi,” tegasnya.
Para pedagang berharap dengan penataan yang lebih baik, Taman Kota Bambu Runcing dapat menjadi destinasi kuliner yang lebih menarik. “Jika tatanan kota cantik dan bagus, tentunya akan menarik lebih banyak pengunjung, baik dari dalam maupun luar daerah, untuk menikmati kuliner sambil mengagumi keindahan Kota Pangkajene dan Kepulauan,” tutup Muhlis penuh harap.
Keberadaan pedagang kaki lima seperti Muhlis merupakan bagian tak terpisahkan dari dinamika perkotaan yang terus berkembang. Diperlukan kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak, baik dari sisi estetika kota maupun kesejahteraan masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya pada sektor informal.