MAKASSAR,UPOS.ID – Ingat tentang liputan “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan.” yang dimuat projectmultatuli.org dan menggemparkan dunia dengan tagar #PercumaLaporPolisi viral itu?
Penulisnya, Eko Rusdianto jurnalis lepas di Sulawesi Selatan itu meraih Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau, 31 Januari 2022.
Eko, yang sudah bergelut selama 13 tahun sejak 2009 di dunia jurnalis ini memang kerap meliput diskriminasi dan pelanggaran hak perempuan dan minoritas seksual, hak masyarakat adat dan petani, maupun tentang kerusakan lingkungan hidup.
“Keputusan Eko Rusdianto buat menggali sebuah kasus, dan belajar soal liputan trauma, lantas mendapat kepercayaan dari ibu para korban buat menulis kekerasan seksual, serta bikin laporan yang kritis, membuat para juri sepakat bahwa ia sebuah keberanian dalam jurnalisme,” kata Coen Husain Pontoh dari Penghargaan Oktovianus Pogau tentang alasan Eko diganjar penghargaan dari Pantau itu dalam keterangan pers resmi Pantau.
Liputan kasus kisah ibu Lidya tersebut berawal saat Eko Rusdianto ingin menuliskan kisah “Ibu Lydia” namun merasa belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan soal liputan trauma, terutama terhadap korban kekerasan seksual. “Ibu Lydia” melaporkan mantan suaminya kepada polisi dengan tuduhan kekerasan seksual terhadap ketiga anak perempuan mereka.
Pada 2019, kasus ini dihentikan di Luwu Timur. Rusdianto mulai membaca berkasnya bersama kenalannya di Lembaga Bantuan Hukum Makassar. Dia juga bikin liputan soal seorang transgender perempuan, Pada 2020, Rusdianto belajar pada beberapa aktivis hak perempuan serta membaca soal liputan trauma. Dia mulai sering menulis soal diskriminasi dan kekerasan terhadap individu transpuan di Sulawesi termasuk Ho Chiang Seng (biasa dipanggil Hae), yang sudah 36 tahun meninggalkan Makassar, mengembara di Pulau Jawa.
Pada 2021, Project Multatuli hubungi Rusdianto agar menulis tentang kasus-kasus hukum yang mandek. Rusdianto mengusulkan tentang kasus kekerasan seksual di Luwu Timur. Dia ingin menyambung suara “Ibu Lydia” yang disebut gangguan jiwa di Luwu Timur gegara memperkarakan mantan suaminya.
“Keputusan buat membongkar kasus yang sudah ditutup polisi adalah sebuah keberanian. Ini sesuatu yang lazim dilakukan wartawan dalam masyarakat yang dukung demokrasi,” kata Pontoh.
Alasan keberanian itu pula yang membuat Eko Rusdianto yang belajar jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Fajar -sekarang menjadi Universitas Fajar- diberikan penghargaan yang mengambil nama seorang jurnalis asal Papua Oktovianus Pogau, yang juga sering menulis liputan tentang diskriminasi. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016.
Bukan hanya liputan yang viral di sosial media itu yang dibuat Eko. Sebagai jurnalis lepas ia kerap mengirim naskah ke berbagai penerbitan Jakarta, termasuk Mongabay, Vice, Historia maupun New Naratif (Singapura), Al Jazeera (Qatar), dan South China Morning Post (Hong Kong). Tahun lalu, Eko Rusdianto juga menulis kesulitan bekerja sebagai wartawan lepas buat Remotivi. Judulnya, “Koresponden dan Penulis Lepas, Sama-sama Cekaknya.”
Di Mongabay, Eko Rusdianto banyak meliputan soal perampasan tanah serta pengrusakan lingkungan hidup, termasuk penggusuran tanah warga Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, buat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Sae. Tempatnya terpencil dan tak bisa dilalui mobil. Seko, terletak sekitar 120 kilometer dari Sabbang, Luwu Utara, atau 600 kilometer dari Makassar.
Eko Rusdianto, seorang wartawan yang tinggal di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, kelahiran September 1984, di kampung Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Cinta pertamanya, dalam dunia keilmuan, adalah arkeologi. Rusdianto beberapa kali menulis soal gua prasejarah atau bahasa yang terancam punah. Eko Rusdianto belajar jurnalisme dan penulisan di Yayasan Pantau di Jakarta pada 2008 serta pernah mendapatkan beberapa penugasan jurnalistik.
Dia juga menerbitkan antologi termasuk Titik Krisis di Sulawesi; Narasi Jurnalistik Atas Kehancuran Ruang dan Sumber Daya Alam (2020), Tragedi Di Halaman Belakang: Kisah Orang-orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi (2020) serta Meneropong Manusia Sulawesi (2022).
Menurut Eko Rusdianto, menanggapi penghargaan dari yayasan Pantau adalah sesuatu yang menarik. Sebab di Pantau semuanya wartawan yang memberikan penghargaan ke wartawan.senang penghargaan ini dari Pantau. Tapi bagi Eko ia tak punya harapan muluk-muluk setelah menerima penghargaan. Baginya ia akan terus menulis hal-hal yang terjadi disekitarnya
” Ada penghargaan atau tanpa penghargaan saya tetap akan menulis. Menulis hal-hal kecil di sekitaran lingkungan saya,” jelas Eko saat dihubungi lewat pesan WhatsApp.(#)