Oleh : Muh Asmal (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unismuh Makassar)
Upos.id, Di tengah hiruk-pikuk Kota Makassar, becak motor (bentor) menjadi salah satu modal transportasi khas yang lekat dengan kehidupan masyarakat. Tukang bentor bukan hanya sekadar pengendara, tetapi juga simbol perjuangan hidup yang menghidupkan roda ekonomi kecil keluarga di tengah arus modernisasi.
Bentor lahir sebagai hasil adaptasi becak tradisional dengan teknologi modern berupa sepeda motor. Namun, di era transportasi digital, posisi tukang bentor semakin terdesak. Kehadiran ojek online yang menawarkan kemudahan dan tarif transparan membuat para tukang bentor harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan penumpang.
Menjadi tukang bentor berarti menghadapi ketidakpastian pendapatan. Dalam sehari, mereka mungkin menghabiskan waktu berjam-jam menunggu penumpang, dengan hasil yang kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Di sisi lain, tukang bentor sering kali memiliki hubungan yang akrab dengan pelanggannya. Bentor bukan hanya alat transportasi, tetapi juga ruang kecil untuk berbincang, berbagi cerita, dan menjalin keakraban. Hal ini mencerminkan nilai-nilai sosial masyarakat Makassar yang hangat dan ramah.
Kehadiran bentor kerap dianggap mengganggu oleh sebagian pihak karena memenuhi ruas jalan dan tidak jarang dianggap kurang sesuai dengan konsep transportasi modern.
Beberapa kebijakan kota yang mengatur transportasi umum kadang justru membuat tukang bentor merasa tersingkir. Meskipun begitu, mereka tetap bertahan, menunjukkan semangat kerja keras yang luar biasa.
Namun, perjuangan mereka tidak hanya soal pendapatan. Biaya perawatan kendaraan, bahan bakar yang terus naik, dan tekanan modernisasi membuat profesi ini semakin menantang. Dalam situasi ini, kenaikan pajak justru menjadi pukulan tambahan yang memberatkan.
Kenaikan pajak kendaraan bermotor menjadi salah satu isu yang sangat dirasakan oleh tukang bentor. Bagi mereka, bentor adalah aset utama sekaligus sumber penghasilan. Kenaikan pajak berarti mereka harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk hal-hal administratif, sementara pendapatan mereka tidak bertambah.
Dalam konteks ini, kenaikan pajak bukan hanya membebani finansial tukang bentor, tetapi juga meningkatkan risiko mereka untuk tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut. Hal ini bisa memaksa mereka beroperasi secara ilegal, yang akhirnya berpotensi berhadapan dengan sanksi hukum.
Untuk meringankan beban para tukang bentor, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang lebih inklusif. Seperti subsidi atau pengurangan pajak. Lalu, program peremajaan kendaraan, dan pendampingan ekonomi.
Menjadi tukang bentor di Kota Makassar adalah cerminan perjuangan hidup di tengah modernisasi. Di balik suara mesin yang bergema di jalanan, ada kisah tentang tanggung jawab, tekad, dan semangat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan.
Tukang bentor bukan hanya bagian dari sejarah transportasi, tetapi juga wajah nyata dari perjuangan masyarakat kecil yang pantang menyerah.