Oleh: Fahrul Dason
Kekisruhan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) terus memanas akibat protes mahasiswa terhadap kasus pelecehan seksual yang menimpa salah satu mahasiswi. Aksi demonstrasi pun terus berlangsung sebagai bentuk solidaritas dan tuntutan keadilan.
Ironisnya, salah satu mahasiswa yang ikut dalam aksi protes tersebut justru dikenai sanksi drop out (DO) oleh pihak kampus melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh Rektor Universitas Hasanuddin tentang pemberhentian dengan tidak hormat.
Beberapa alasan yang dikeluarkan surat itu juga tidak memiliki dasar, hanya karena tidak mematuhi tata tertib, kode etik mahasiswa, dan pencemaran nama baik institusi Universitas Hasanuddin, yang tidak sebanding dengan perlakuan pelaku terhadap korban.
Sementara itu, pelaku pelecehan hanya menerima sanksi ringan dari pimpinan kampus. Keputusan ini tentu menuai kecaman dan memperburuk trauma korban, sekaligus meruntuhkan rasa keadilan, terutama bagi para perempuan yang merasa harga dirinya turut tercabik.
Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi Fakultas Ilmu Budaya Unhas untuk introspeksi dan memperbaiki sistem penanganan kasus serupa. Jika nilai-nilai luhur seperti keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia tidak lagi dijunjung, lalu apa makna keberadaan fakultas yang katanya mengajarkan akal budi dan kearifan masyarakat adat? Jangan hanya memperbaiki kurikulum atau sekadar menawarkan mata kuliah feminisme—lebih penting adalah menciptakan lingkungan yang benar-benar aman dan berpihak pada korban.
Kampus harus berbenah, bukan malah membungkam suara yang menuntut keadilan.
Aksi protes yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unhas adalah bentuk dari bagaimana mengekspresikan kekecewaan, dan ini bukan soal melanggar kode etik, atau sampai melanggar tata tertib kampus, lebih dari itu ada upaya filosofis yang dilakukan oleh para mahasiswa atas tindakan bengis, bejat dari dosen yang melakukan pelecehan terhadap Mahasiswi.