Oleh : Ahmad Azhar Mawari – Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin
Upos id, Pilkada serentak 27 November 2024 tinggal menghitung hari, Fanatisme politik adalah fenomena yang semakin terlihat di berbagai daerah. Masyarakat kerap kali terpolarisasi dan terbagi ke dalam kelompok-kelompok pendukung kandidat tertentu dengan loyalitas yang begitu tinggi. Namun, ketika fanatisme ini tidak dikendalikan, kampanye yang sehat dan produktif malah tergeser oleh narasi saling menjatuhkan antara satu kandidat dengan kandidat lain. Sayangnya, hal ini tidak hanya merugikan kualitas demokrasi tetapi juga memengaruhi kondisi sosial masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks kampanye politik, narasi yang saling menjatuhkan sering muncul dalam bentuk serangan pribadi, penyebaran hoaks, bahkan fitnah terhadap lawan politik. Taktik seperti ini dianggap mampu melemahkan posisi lawan dan mempengaruhi persepsi publik, tetapi sebenarnya tidak memberikan manfaat substantif bagi pemilih. Alih-alih memberikan pemahaman tentang visi dan program kerja, kampanye hitam hanya mendorong polarisasi dan memupuk permusuhan di antara pendukung kandidat. Selain itu, taktik tersebut cenderung mengabaikan isu-isu krusial yang seharusnya lebih diperhatikan, seperti masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Fanatisme yang buta terhadap figur politik tertentu sering kali membuat pendukungnya hanya fokus pada kelemahan lawan dan melupakan sisi kritis terhadap figur yang didukungnya. Pendukung fanatik ini cenderung menerima informasi secara mentah-mentah tanpa memverifikasi kebenarannya, selama informasi tersebut menguatkan narasi negatif tentang lawan. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya menjadi wadah diskusi sehat tentang masa depan bangsa berubah menjadi ajang adu kebencian dan berita bohong.
Dampak dari narasi saling menjatuhkan ini bahkan meluas hingga memecah belah masyarakat di akar rumput. Lingkungan keluarga, pertemanan, dan pekerjaan bisa menjadi tegang hanya karena perbedaan pilihan politik. Politik yang seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki kehidupan masyarakat justru membuat hubungan sosial menjadi renggang dan menimbulkan prasangka antarindividu yang berbeda pandangan.
Bila kondisi ini dibiarkan, masyarakat hanya akan terpecah semakin dalam. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang terbuka terhadap gagasan yang berbeda, menghargai diskusi, dan mengutamakan substansi. Pemilu bukan ajang menang-kalah tanpa batas, tetapi sebuah proses untuk menemukan pemimpin terbaik yang membawa harapan bersama. Oleh karena itu, para elite politik harus menyadari tanggung jawab besar yang mereka emban dalam menjaga etika kampanye.