Gambar : Koreri.com (Suku Awyu)
Oleh: Fahrul Dason
Upos.id, Film dokumenter 17 Surat Cinta yang diproduseri oleh Ekspedisi Indonesia Baru membawa kita pada situasi yang penuh dilema: antara harapan dan ketidakpastian. Film ini mengingatkan kita pada satu pertanyaan besar: entah ke mana lagi kepercayaan dapat diberikan? Kepada siapa masyarakat bisa mengadu soal deforestasi yang terus terjadi, ketika pemerintah sendiri tak lagi dapat diandalkan?
Film ini disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono melalui rumah produksinya, Watchdoc. Melalui tayangan yang diramu dengan kepekaan tinggi terhadap isu lingkungan, 17 Surat Cinta telah diputar secara serentak di berbagai daerah di Indonesia.
Salah satu pemutarannya diadakan di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, yang diwadahi oleh Jaringan Oposisi Loyal (JOL). Pesan yang disampaikan dalam film sangat jelas: kehidupan masyarakat sering kali dikorbankan demi kepentingan segelintir individu atau kelompok yang rakus akan sumber daya.
Selain menampilkan narasi yang kuat, dokumenter ini melibatkan berbagai organisasi lingkungan seperti Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Yayasan HAkA, dan Greenpeace Indonesia. Kerja sama ini menghasilkan dokumentasi yang tidak hanya memotret, tetapi juga mengungkap berbagai praktik eksploitatif yang sering kali terjadi secara terorganisir, dan, sayangnya, sering kali mendapat legitimasi dari pihak berwenang.
Kisah di Balik 17 Surat Cinta
Judul film ini diambil dari 15 surat yang dikirimkan kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, yang tak pernah mendapat balasan. Dua surat lainnya dikirim langsung oleh para aktivis ke kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Aksi ini melambangkan betapa sulitnya masyarakat mendapatkan keadilan di tengah sistem yang seolah tidak peduli.
Ketidakpedulian inilah menjadi bagian dari kejahatan yang direncang bahkan, cenderung terorganisir. Ironi besar terlihat dari pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Dari total izin pemanfaatan lahan, hanya 7% yang diberikan kepada masyarakat, sementara 93% dikuasai oleh perusahaan besar. Film ini menyoroti bagaimana ruang hidup masyarakat adat direnggut secara brutal, bahkan yang terjadi di Aceh tercatat 24 Orangutan dibantai habis-habisan.
Deforestasi di Rawa Singkil, Aceh, menjadi salah satu contoh nyata. Data menunjukkan kehilangan hutan di kawasan ini terus meningkat setiap tahun: 28 hektare pada (2019), 43 hektare (2020), 165 hektare (2021), 716 hektare (2022), 832 hektare (2023), dan 336 hektare di awal (2024). Rawa Singkil kini terkepung oleh berbagai perusahaan besar yang sangat mengancam ekosistem yang menjadi habitat kunci bagi keanekaragaman hayati.
Masalah serupa juga terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Analisis Auriga Nusantara mengungkapkan bahwa 73% kawasan ini telah mengalami deforestasi sejak ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004. Di SM Dangku, Sumatra Selatan, hanya tersisa 23% hutan alami dari total luas kawasan 48.009 hektare.
Laju deforestasi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir, termasuk di wilayah konservasi, yang pada 2023 saja mencapai 12.612 hektare. Salah satu pemicu utama adalah izin konversi lahan yang terus diterbitkan, seperti perluasan Hutan Tanaman Industri di Kalimantan dan Proyek Strategis Nasional, termasuk Food and Energy Estate seluas 2 juta hektare di Papua Selatan seperti Boven Digoel dan Merauke.
Konflik Kepentingan dan Masa Depan Lingkungan
Ironisnya, Presiden Prabowo Subianto, yang baru saja terpilih untuk memimpin lima tahun ke depan, tercatat memiliki 395.000 hektare lahan yang tersebar di berbagai wilayah. Ia juga terlibat dalam 13 perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan, perkebunan, jasa keamanan, dan Hutan Tanaman Industri. Konflik kepentingan seperti ini menambah keraguan atas keberpihakan pemerintah terhadap kelestarian lingkungan.
Dari sini kita bisa membayangkan bagaimana sumber daya alam terkonsenterasi hanya segelintir orang saja, kembali pada pertanyaan awal kita, kemana kita harus mengadu? Apakah harus banyak-banyak berserah diri dan menerima semua? Jika hanya itu jalannya, untuk apa kita menjadi manusia? Dari Rawa Singkil hingga Boven Digoel setidaknya akan tetap kita yakini bahwa masih ada secercah cahaya, dan cahaya itu bisa kita lihat dari orang-orang yang dalam film 17 Surat Cinta masih mewakafkan jiwa dan raganya untuk membela hak-hak masyarakat adat, flora dan fauna.
Film 17 Surat Cinta menjadi pengingat akan pentingnya solidaritas dan kepedulian, tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk hidup lainnya yang menjadi bagian penting dari ekosistem semesta. Dari Sabang hingga Merauke, Ekspedisi Indonesia Baru telah menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang betapa rapuhnya hubungan manusia dengan alam.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga lingkungan. Maka, pesan dalam film ini bukan hanya sekadar cerita, melainkan ajakan untuk bertindak. Dengan menonton, memahami, dan bergerak bersama, kita dapat mendorong perubahan demi masa depan yang lebih berkelanjutan