UPOS.ID Setelah beberapa tahun lalu Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah (BEM-U) Makassar melewati masa kekosongan kepemimpinan, hari ini mereka telah menjalani satu tahun masa kepemimpinan—satu periode penuh. Namun, seluruh lembaga kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Makassar kembali diperlihatkan bagaimana sebuah musyawarah dilakukan tanpa aturan dan tata kelola organisasi yang baik—tanpa adanya mekanisme yang jelas dan dapat disepakati.
Hal ini tentu menandakan bahwa tidak ada alasan logis bagi lembaga untuk menerima laporan pertanggungjawaban BEM-U dalam Musyawarah Mahasiswa yang dilaksanakan di lantai 2 balai sidang (Balsid).
Pertama, momen Musyawarah Mahasiswa seharusnya menjadi penanda berakhirnya kepemimpinan lama dan dilanjutkan oleh pengurus baru. Namun, selama proses pendaftaran calon presiden mahasiswa (Presma), sama sekali tidak ada kejelasan terkait mekanisme pemilihan. Bagaimana mungkin pencalonan presiden mahasiswa dibuka tanpa adanya kejelasan mekanisme pemilihannya?
Kedua, bukan hanya mekanisme pemilihan yang tidak jelas, musyawarah BEM-U yang seharusnya dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus—sebelum proses pendaftaran calon presiden—justru diundur ke tanggal 31 tanpa penjelasan yang jelas. Lebih parah lagi, musyawarah mahasiswa BEM-U tersebut kembali diundur hingga tanggal 3 September. Kita bisa membayangkan bagaimana perhelatan ini dilakukan tanpa alasan yang kuat dan tanpa keseriusan.
Yang lebih memprihatinkan adalah, proses pemilihan yang dilakukan oleh panitia pemilihan Calon Presiden Mahasiswa berlangsung sebelum Musyawarah Mahasiswa sebagai forum tertinggi digelar. Pertanyaannya kemudian, dari mana aturan itu diambil dan bagaimana pedoman yang digunakan untuk mengatur semua ini? Tentunya, dugaan yang muncul adalah bahwa tidak ada mekanisme yang mengatur hal ini dengan jelas, melainkan hanya keputusan-keputusan sepihak.
Ketiga, selama proses menuju pemilihan presiden mahasiswa, yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan tanpa aturan yang jelas, pemilihan dilakukan secara delegasi per fakultas—atau dengan sistem keterwakilan. Konsekuensi dari ini adalah tidak terjadi proses demokrasi yang baik. Mahasiswa yang tidak memiliki hak suara dan tidak merasa terwakilkan tentunya memiliki hak untuk tidak mengakui keberadaan Presiden Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Makassar, sebab tidak ada pemilu raya yang dilakukan.
Terakhir, semua proses yang dilakukan, mulai dari awal hingga terpilihnya presiden mahasiswa, sama sekali tidak memiliki legalitas yang dapat ditunjukkan. Semua hanya sebatas narasi agitasi. Bahkan, musyawarah mahasiswa yang dilakukan dianggap tidak sah, karena SK—mandat yang dikeluarkan untuk steering committee—tidak memiliki bukti ‘mengetahui’ dari rektor (pimpinan kampus). Ini berarti seluruh proses telah gagal, dan Panitia Pemilihan berjalan tanpa adanya mandat yang disetujui oleh pimpinan. Padahal, jalur administrasi lembaga sudah jelas, yakni semua harus mendapatkan persetujuan dan sepengetahuan pimpinan kampus yang ditandai den BBgan tanda tangan resmi.
Sebagai penutup, proyeksi kepemimpinan BEM-U yang akan datang ini tidak akan dianggap secara publik dan secara tertulis, semuanya gagal sejak awal proses perhelatan yang dilakukan.