Oleh : Usamah (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unismuh)
Upos.id, Menjadi seorang Mahasiswa adalah mimpi hampir semua anak muda yang memiliki cita-cita mengenyam pendidikan yang tinggi. Namun yang disayangkan adalah tidak semua bisa merasakan hirup pikuk dunia kampus.
Dinamika hidup menempatkan setiap orang pada standar sosial masing-masing, si kaya dengan pola hidupnya yang hedon mampu memilih kampus mana yang ia ingin masuki sedangkan yang memiliki standar ekonomi menengah kebawah harus bertarung mati-matian untuk masuk perguruan tinggi yang ia idamkan.
Ada Iftitah seorang mahasiswa Keperawatan Gigi yang harus bekerja paruh waktu untuk meringankan biaya hidupnya, gadis berusia 20 tahun ini selain menjadi Mahasiswa ia juga bekerja paruh waktu di salah satu klinik gigi yang berada di kota Makassar.
Sebagai anak yang telah kehilangan seorang ibu di usia 7 tahun dan di tinggal pergi oleh sang ayah, rasanya berat jika mewujudkan cita-citanya. Ia di asuh oleh kakek neneknya sepeninggal ibunya, sebelum kemudian ia di serahkan kepada pamannya untuk di sekolahkan ke jenjang selanjutnya.
Tumbuh besar di bawah asuhan sang paman Iftitah merasa bersalah karena terus menerus menjadi beban bagi pamannya, hingga ia mengorbankan waktu istirahatnya untuk bekerja paruh waktu selama 6 – 8 jam per harinya.
Dari Iftitah kita melihat betapa sistem pendidikan di negara kita telah mencekik leher para keluarga kelas menengah ke bawah. Syukur-syukur jika beasiswa KIP ( KARTU INDONESIA PINTAR ) tepat sasaran, namun realitanya masih banyak yang tidak termasuk dalam kategori penerima justru terakomodir slot beasiswa.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah langkah-langkah strategis yang di tempuh oleh para petinggi negeri dalam mengakomodir permasalahan pendidikan di negara kita? Biaya pendidikan yang tinggi serta apresiasi bagi para sarjana justru sangat jauh dari kata layak.
Bukankah terjadi timpan tindih dalam konsep ini? Seharusnya biaya pendidikan yang tinggi di tunjang dengan kualitas pendidikan yang terbaik juga, ini malah sebaliknya.
Pemerataan di sektor pendidikan memanglah perlu di jadikan salah satu fokus utama pemerintah, fasilitas pendidikan untuk para mahasiswa perlu prioritas dalam penganggaran dana, sistem satu laptop satu siswa yang di terapkan di beberapa daerah bisa menjadi salah satu rujukan yang bisa di terapkan secara menyeluruh. Paling tidak memberikan fasilitas layak untuk mahasiswa bisa belajar IT bisa tercover secara bertahap.
Tidak kebayang rasanya menjadi seperti Iftitah, yang banting tulang di usia yang terhitung masih sangat muda membagi waktu antara kerja dan kuliah. Iftitah hanyalah satu dari banyak anak yang berjuang untuk masa depannya.