BudayaOPINIKetika Pakar Terpinggirkan

Ketika Pakar Terpinggirkan

(Catatan Diskusi Bincang Buku Matinya Kepakaran)

Oleh: Supratman Yusbi Yusuf

Beberapa hari lalu, saya diundang sebagai pemantik dalam bincang buku Matinya Kepakaran yang ditulis Tom Nichols, oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Unismuh Makassar. Diskusi mengulas cara pandang Tom Nichols atas kegelisahannya melihat fenomena ketidak percayaan masyarakat terhadap pakar. Masyarakat lebih percaya kebenaran representatif yang didapatkan dari mesin pencari ketimbang ulasan hasil penelitian dari pakar. Sangat relevan dengan apa yang Boudrillard bilang, kebenaran asli tertutupi oleh kebenaran representative atau imitasi.

Bahasan berlanjut ke fenomena media sosial sebagai panggung menyampaikan opini, ketika semua individu bebas memberikan pendapat, lahirlah informasi yang beragam dan membingungkan. Tak sampai disitu, diskusi mengalir ke dunia pendidikan yang memang dibahas dalam buku itu, dimana lembaga pendidikan dianggap hanya memenuhi kepuasan mahasiswa ketimbang meningkatkan kualitas akademik, melahirkan luaran yang gagap dan tidak mampu menjawab fenomena realitas. Termasuk tidak mampu mewarnai debat wacana di media sosial sesuai bidang keilmuannya.

Lalu diskusi semakin jauh, namun mengerucut pada persoalan pendidikan, spesifik pada isu efisiensi anggaran-termasuk anggaran pendidikan, demi mendukung dan mewujudkan program unggulan; makan siang gratis. Efek domino dari efisiensi anggaran pendidikan ini mengarah pada pengurangan kouta beasiswa, penelitian hingga tunjangan kinerja pegawai. Nyatanya, di balik lembar-lembar angka dalam laporan keuangan negara, terselip sebuah kenyataan pahit: pemangkasan anggaran pendidikan yang perlahan membunuh kepakaran di negeri ini.

Tom Nichols memang sudah mengingatkan, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap akademisi ditambah adanya pemangkasan anggaran pendidikan/penelitian, mempercepat kemunduran intelektual sebuah bangsa. Apa yang kini terjadi di Indonesia seolah menjadi ilustrasi nyata dari prediksi Nichols.

Foucault juga mengingatkan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui represi, tetapi juga melalui regulasi halus yang membatasi akses terhadap ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, efisiensi anggaran adalah bentuk kontrol epistemik yang secara tidak langsung membatasi siapa yang boleh memiliki pengetahuan dan siapa yang tidak. Pemerintah, sebagai pemegang otoritas, mengontrol produksi dan distribusi pengetahuan dengan cara menentukan anggaran pendidikan.

Produksi Kepakaran Kekurangan Bahan Baku

Beasiswa selama ini menjadi jembatan bagi mahasiswa berbakat dari berbagai latar belakang untuk mengenyam pendidikan tinggi. Namun, dengan pemotongan anggaran, jembatan itu mulai runtuh. Mahasiswa-mahasiswa yang ingin melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi akan dihadapkan pada dua pilihan: mencari pendanaan sendiri atau mengubur mimpi mereka.

Nichols menekankan bahwa ketika ilmuwan dan akademisi mulai menghilang, suara mereka akan kalah dengan opini-opini dangkal yang lebih menarik perhatian publik. Tanpa regenerasi, kampus-kampus akan kehilangan intelektual muda yang seharusnya menjadi tulang punggung masa depan.

Stuart Hall, juga menyoroti bagaimana identitas dan representasi akademisi di masyarakat dapat berubah akibat krisis ini. Dalam perspektifnya, jika ilmuwan dan akademisi kehilangan tempatnya dalam struktur sosial, maka makna “kepakaran” juga akan bergeser. Akademisi yang dulunya dihormati sebagai pencipta pengetahuan bisa saja dianggap tidak relevan dalam masyarakat yang lebih mementingkan praktik ekonomi pragmatis dibandingkan riset mendalam.

Universitas yang seharusnya menjadi pusat intelektual justru berubah menjadi institusi kosong, di mana para pengajar hadir sekadar untuk memenuhi jam mengajar tanpa semangat untuk meneliti atau berdiskusi. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang produksi ilmu, kini dipaksa tunduk pada prinsip efisiensi ekonomi. Akibatnya, pendidikan tinggi tidak lagi menjadi tempat bagi pencarian ilmu, melainkan sekadar bagian dari rantai industri tenaga kerja.

 

Produksi Pengetahuan Berhenti

Nichols mengingatkan bahwa ketika produksi pengetahuan terhenti, negara akan menjadi sekadar konsumen ilmu dari bangsa lain, kehilangan otoritasnya dalam bidang akademik dan inovasi. Perpustakaan mulai sepi, rak-rak buku yang semakin berdebu, kampus hanya pabrik gelar, tanpa menciptakan pemikir sejati.

Gramsci benar, dominasi kelas penguasa tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi dan politik, tetapi juga dalam kontrol atas wacana intelektual. Ketika penelitian dan kepakaran akademik ditekan oleh kebijakan anggaran, maka yang tersisa adalah narasi dominan yang menguntungkan sistem yang sudah mapan, bukan yang menantang dan menawarkan pemikiran kritis.

Tom Nichols memperingatkan bahwa ketika para pakar semakin terpinggirkan, masyarakat akan lebih mudah dipengaruhi oleh populisme dan pseudosains. Di tengah kondisi ini, pertanyaan besar muncul: apakah kita akan membiarkan kepakaran mati, ataukah kita akan berjuang untuk menghidupkannya kembali?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[tds_leads input_placeholder="Your email address" btn_horiz_align="content-horiz-center" pp_msg="SSd2ZSUyMHJlYWQlMjBhbmQlMjBhY2NlcHQlMjB0aGUlMjAlM0NhJTIwaHJlZiUzRCUyMiUyMyUyMiUzRVByaXZhY3klMjBQb2xpY3klM0MlMkZhJTNFLg==" pp_checkbox="yes" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLXRvcCI6IjMwIiwibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjMwIiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tdG9wIjoiMjAiLCJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMjAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" display="column" gap="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTAifQ==" f_msg_font_family="702" f_input_font_family="702" f_btn_font_family="702" f_pp_font_family="789" f_pp_font_size="eyJhbGwiOiIxNCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTIifQ==" f_btn_font_spacing="1" f_btn_font_weight="600" f_btn_font_size="eyJhbGwiOiIxNiIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxMyJ9" f_btn_font_transform="uppercase" btn_text="Subscribe Today" btn_bg="#000000" btn_padd="eyJhbGwiOiIxOCIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxNCJ9" input_padd="eyJhbGwiOiIxNSIsImxhbmRzY2FwZSI6IjEyIiwicG9ydHJhaXQiOiIxMCJ9" pp_check_color_a="#000000" f_pp_font_weight="500" pp_check_square="#000000" msg_composer="" pp_check_color="rgba(0,0,0,0.56)"]

Berita terkait

Berita Terbaru