Oleh : Asratillah
Sekitar tahun 2017 saya ikut nimbrung di sebuah ormas lingkungan yang bernama Sarekat Hijau Indonesia (SHI), awalnya saya sekedar ikut meramaikan, diminta oleh Bung Rizal seorang anak muda energik untuk turut melengkapi struktur organisasi di daerah, sekaligus menjadi partnert diskusi adik-adik DPW SHI Sulsel untuk isu-isu lingkungan.
Lama berselang, santai tapi serius, akhirnya saya pun larut dalam isu-isu politik ekologi yang memang menjadi concern kawan-kawan SHI. Saya akhirnya ikut Kongres SHI di Kota Bandung, mengikuti sirkulasi wacana yang ada, berpartisipasi dalam beberapa kegiatan baik offline maupun online, dan hingga hari ini saya masih tercatat sebagai pengurus SHI.
Dan akhirnya, hari Jumat (10/06/22) lalu kami kedatangan tamu sekaligus rekan SHI dari Asutralia, yang selama di Makassar kami panggil dengan sebutan Mister Andrew, tapi saya lebih sennag menaturalisasinya menjadi Bung Andrew. Hari Sabtu pagi (11/06/2022) saya bersama teman-teman SHI mengadakan hajatan organisasi di lokasi ekowisata Magrove Lantebung Makassar, yang bagi saya merupakan salah satu dari sedikit destinasi wisata di Kota Makassar yang berwawasan lingkungan. Di awali dengan pemaparan dari ketua DPP SHI bu Ade soal partisipasi perempuan dalam politik ekologi, dan diakhiri dengan penjelasan Bung Andrew soal model pengelolaan sampah organik.
Yang menarik bagi saya adalah keresahan yang Bung Andrew bagikan ke kami, soal sampah makanan di Indonesia (termasuk di Makassar) yang tak terkelola baik. Menurut Andrew, ada satu kebiasaan di Indonesia yang menurutnya menjadi salah satu penyebab meledaknya sampah makanan, yakni berkumpul dengan suguhan makanan yang melebihi kebutuhan sehingga sisa makanan berpotensi tak terolah dan menjadi sampah. Bagi Andrew, berkumpul lalu ngobrol sambil membangun keakraban di antara keluarga dan shabat adalah hal yang sangat mengasyikkan, namun kebiasaan mengisi piring dengan jumlah makanan berlebih dan akhirnya bersisa bagi Andrew adalah salah satu sikap yang tidak respek terhadap makanan, dan tentunya tidak respek terhadap lingkungan.
Kalau kita melihat data tentang sampah makanan di Indonesia dari katadata.co.id, yang diolah lebih lanjut dari data The Economist Intellegence Unit, Bappenas, SURLUS, dan Global Hunger Index 2021. Produksi sampah makanan di Indonesia dari tahun 2000 hingga 2019 menyentuh angka 23-24 juta ton/tahun, dan ini setara dengan 115-184 kg/tahun sampah makanan per-orang, setara dengan kerugian ekonomi sekitar Rp 213 triliun – Rp 551 triliun kerugian ekonomi, dan jika dikonversi menjadi fresh food maka akan bisa memberi maka 61 hingga 125 juta penduduk. Jika diurai lebih lanjut maka sampah makanan tersebut terdiri dari 31 persen sampah sayuran, 11 persen sampah daging, 10 persen sisa ikan, 20 persen sampah nasi, dan 10 persen sampah dari produk susu. Dan hal ini menjadi ironi karena tingkat kelaparan Indonesia peringkat ke-3 di Asia Tenggara di tahun 2021.
Sampah makanan ini bukanlah hal yang main-main, karena kalau kita merujuk kepada data yang dikeluarkan oleh KLHK di tahun 2021, sampah makanan menyumbang porsi 39,85 persen dari seluruh sampah yang kita produksi, dan ini mengalahkan porsi sampah plastik yang hanya menyumbang 16,97 persen. Berdasarkan data dari Barilla Center For Food And Nutritions maka Indonesia merupakan negara anggota G20 dengan sampah sisa makanan terbanyak kedua setelah Saudia Arabia. Di posisi ke tiga dan ke empat diisi oleh Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab.
Food Loss (kerusakan makanan) dan food waste (sampah makanan), memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi, karena akan meningkatkan kadar metana di atmosfir. Menurut beberapa hasil studi, gas metana bisa menimbulka efek rumah kaca 21 kali lebih besar dibanding karbondioksida. Konon ini akan punya efek domino dalam jangka panjang, kenaikan permukaan air laut, mencairnya bongkahan es di kutub utara dan kutub selatan, perubahan iklim, kerusakan lahan pertanian dan sebagainya.
Saat di Lantebung, kami pun berdiskusi, dan ada beberapa isu menarik sekaitan dengan sampah sisa makanan. Pertama, kami menyadari bahwa sampah sisa makanan dan juga persoalan lingkungan lain, sangat terkait dengan persoalan kultural. Kami menyadari, khususnya di Sulawesi Selatan, local Wisdom justru menggiring manusia tuk punya respek terhadap makanan. Aturan tentang larangan bersikap mubazzir dan bersikap berlebih-lebihan saat makan, bahkan dalam komunitas budaya yang sangat kental dipengaruhi Islam bahkan ada anjuran untuk tak menyisakan sebutir nasi pun di piring, hingga mesti berbaju rapi saat mengkonsumsi makanan. Salah satu teman kami berpendapat bahwa melimpahnya sampah makanan disebabkan oleh mentality problem.
Tiba-tiba saya teringat dengan kumpulan esai Kuntowijoyo yang berjudul “Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas”. Dalam salah satu esainya dijuduli Krisis Kebudayaan; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Perilaku” , disebutkan bahwa krisis kebudayaan diawali dengan adanya jarak yang semakin menganga antara kesadaran dan perilaku, dan mungkin hal ini juga yang menjadi salah satu sebab atas membanjirnya sampah makanan. Kita menjadi semacam split personality (kepribadian yang terbelah), di satu sisi kita sadar dan masih meng-amin-i bahwa makanan bukan sekedar komoditi konsumsi, tapi dia adalah rezeki, pemberian dari Sang Maha yang jika kita bersikap hormat saat menghadapinya akan mendatangkan “berkah”. Apa itu “berkah” yah semacam kebaikan yang terkadang tak terkalkulasi sebelumnya yang mengikuti aktivitas atau perbuatan tertentu.
Namun di sisi lain, kita memperlakukan makan hanya sebagai komoditi ekonomi yang peruntukannya sekedar tuk di konsumsi. Harapan akan “berkah” dikalahkan akan harapan akan “profit dan omset”, makanan di produksi, didistribusi, dijual, lalu dikonsumsi sekedar untuk memutar roda perekonomian, dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi tanpa peduli terhadap keberlanjutan. Bahkan makanan sebagai komoditi mengalami penggelembungan fungsi, dari sekedar fungsi konsumsi menjadi fungsi simbolik, dikelilingi oleh makanan yang berlimpah dan mahal (tanpa peduli akan nutrisi dan porsinya) menjadi semacam gengsi tersendiri.
Kuntowijoyo dalam esainya tersebut, menawarkan semacam terapi sederhana akan krisis kebudayaan yang saya pikir bisa juga bisa diadaptasi dalam menangani sampah makanan secara kultural. Terapi pertama adalah transendensi, makanan dan aktivitas makan tak lagi hanya dipandang sebagai alat pemenuhan “the will to eat” (keinginan untuk makanan), tapi aktivitas makan bisa dijadikan sebagai ranah yang oleh Viktor Frankl sebut dengan “the will to meaning” (keinginan akan rasa bermakna). Sehingga perlu dilakukan revitalisasi dan penerjemahan ulang akan kebijaksanaan lokal sekaitan dengan sikap respek akan makanan, sehingga muncul kesadaran bahwa sikap tak hormat sama artinya dengan “Man Againts Him Self” (manusia melukai dirinya sendiri).
Terapi kedua menurut Kuntowijoyo adalah pendidikan moral. Yang dimaksud di sini adalah kehadiran ”examplary center” , kehadiran sosok-sosok keteladanan sekaitan kepedulian akan lingkungan. Salah satu sebab akan krisis kebudayaan dan mungkin lingkungan, karena sudah segudang proposisi-proposisi moral, sejuta preskripsi ekologis kita sampaikan dan ajarkan di pelatihan-pelatihan dan seminar-seminar, namun tak satupun di antara kita yang tergerak tuk memulai aksi. Bahkan isu-isu ekologis sekedar dijadikan slogan dan bagian penting dalam pemasaran politik. Istilah seperti ekonomi hijau, kota hijau (green city) bahkan politik hijau, hanya menjadi pemanis bibir saja untuk menarik simpati publik.
Terapi ketiga menurut Kuntowijoyo adalah pengembangan estetika. Isu-isu lingkungan seperti sampah makanan, pemanasan global, ancaman terhadap biodiversitas mesti dipercakapakan melalui media-media seni. Dalam masyarakat urban, ada kecenderungan terhadap pencarian akan spiritualitas dan kebermaknaan hidup melalui sarana non agama,dan saya pikir estetika punya peran signifikan di sini. Namun saya tidak menyamakan terapi ini dengan gerakan romantisisme yang pernah hadir sebagai respon terhadap Renaissans, tapi saya pikir karya sastra kita, cerpen, seni rupa bisa membantu khlayak menangkap “rasa” ekologis, bukan sekedar “rasionalitas” dari isu-isu ekologis.
Namun, sekaitan dengan sampah sisa makanan, bukan hanya persoalan kultural, tapi ini juga berkaitan dengan kejelasan produk public policy kita sekaitan dengan lingkungan hidup. Bisa saja public policy yang ada masih miskin dalam mendefinisikan problem ekologis yang coba dibangun, atau adanya ketidak sinkronan antara satu kebijakan publik dengan kebijakan publik yang lain. Bahkan kebijakan publik yang bertujuan menahan laju degradasi lingkingan lebih di-anak-tiri-kan jika berhadapan dengan kebijakan publik sekaitan dengan investasi, bisnis, pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Belum lagi implementasi kebijakan yang bersoal, mulai dari SDM Implementator yang tdk memadai, warga yang pelibatannya belum maksimal, rentang kendali yang begitu luas, belum lagi kultur birokrasi yang Andrew sebut “talking-talking government” (pemerintahan tukang ngobrol) dan “picture-picture governement” (pemerintahan yang hanya puas dengan dokumentasi).