Makassar – Laboratorium Riset Kebijakan dan Manajemen Publik, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UNHAS menggelar webinar Serial #1. Diskusi yang mengangkat tema “Inovasi Desa: Penggerak Ekonomi di Era Pandemi” ini diadakan via zoom meeting (15/1/2022)
Webinar ini menghadirkan narasumber yakni Prof. Dr. Sangkala M. Si.(Guru Besar Departemen Ilmu Administasi FISIP UNHAS) dan Abdul Rasyid Sahar S.Ip M.A. (Direktur BUMDes Ampera Binkar. Desa Binanga Karaeng, Kabupaten Pinrang). Kegiatan ini dipandu oleh Rizal Pauzi.
Kegiatan yang dibuka oleh ketua Laboratorium Riset Kebijakan dan Manajemen Publik, Prof. Dr. Alwi, M.Si ini dihadiri oleh 112 orang yang terdiri dari dosen, pegawai Pemerintah daerah, pendamping desa, mahasiswa sarjana dan pascasarjana administrasi publik.
Prof. Sangkala dalam pemaparannya menjelaskan bahwa sistem pemilihan kepala desa tidak berbasis pada merriet sistem, tetapi pada ketokohan. Hal ini membuat birokrasi ditingkat desa sulit untuk melakukan inovasi.
“Berbicara Inovasi desa, kita dapat menggunakan dua perspektif yaitu apakah inovasi itu lahir ditengan-tengah desa atau inovasi dari pemerintah desa. Sehingga, untuk mendorong inovasi kolabarasi antara regulasi pemerintah dan inisiatif masyarakat desa” jelas tim TGUPP Sulawesi Selatan ini.
Dewan pakar IAPA ini menjelaskan, untuk menciptakan kebijakan yang mendorong inovasi di era Pandemi sekarang ini, beberapa cara yang harus dilakukan yakni transformasi struktural, transformasi kultural, transformasi digital, transformasi model bisnis dan transformasi kepemimpinan.
Sementara itu Abdul Rasyid menjelaskan bahwa banyak desa di Indonesia yang memiliki anggaran besar tetapi program dan unit-unit usaha yang mau dijalankan tidak sejalan dengan kondisi dan potensi yang ada. Sehingga butuh penerapan rezim kolaboratif untuk menggerakkan beberapa stakeholders yang ada di desa.
“Dengan adanya destinasi wisata di Pantai Salopi, ada temuan menarik, ada begitu banyak perpindahan tenaga tenaga kerja yang dulunya merantau. Keberadaan Bumdes ini mempengaruhi arus urbanisasi yang ada di desa. Selain mengurangi urbanisasi, banyak toko-toko UMKM di sekitar pantai itu yang terbantu. Karena begitu massif kunjungan wisatawan dalam satu-dua tahun terakhir ini” jelas Direktur BUMDes Ampera Binkar ini.
Alumni Pascasarjana Administrasi dan Kebijakan Publik UI ini menjelaskan, Tahun 2015-2017 pantai yang indah ini hanya di tempati binatang ternak, tetapi sejak tahun 2018 desa ini mengalami perubahan yang signifikan. Dulunya adalah desa miskin sekarang desa Binanga Karaeng masuk dalam 300 besar desa wisata yang dianugrahkan oleh kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif.
Hal ini menandakan bahwa masyarakat desa memiliki kapasitas leadership seharusnya kita berani bertarung di pedesaan, karena jika kita merujuk ke program korea selatan “Saemaul Undong” rahasianya para SDM yang ada di kota mereka turun ke desa untuk mengembangkan suatu desa.
“Sebelum melakukan program di BUMDes, kami melihat bentang alam yang ada di desa kami. Karena meskipun kita memiliki anggaran yang banyak tetapi tidak di sesuaikan dengan bentang alam yang ada di desa kita hal itu tidak akan berjalan beriringan. Pemetaan hambatan dan tantangan desa wisata berkelanjutan, yaitu wisata warisan budaya dan sejarah, wisata belanja dan kuliner, wisata kota dan desa. Dari tiga tahun kami bekerja bersama teman-teman yang ada di desa binanga karaeng memang tidak muluk-muluk banyak tantangan yang kami hadapi, pertama dari aspek pemerintah ketersediaan konektivitas dan infrastruktur yang belum optimal, kemudahan investasi yang belum optimal, belum optimalnya sinergi antar mata rantai usaha pariwisata, daya saing produk wisata, dan pengembangan tanggung jawab terhadap lingkungan” jelas Direktur BUMDes Ampera Binka ini.
Dirinya menambahkan, seharusnya semua desa yang ingin melakukan atau mengelola wisata tidak serta merta menjadi desa wisata di wilayahnya. Setidaknya semua aktor harus terlibat dalam pembangunan desa. Jika pemerintah tidak mendukung kegiatan atau program lembaga-lembaga yang ada di desa hal itu tidak akan jalan. Begitupun halnya dengan swasta. Kami dalam tiga tahun terus mengajak pihak-pihak investor untuk berkolaborasi.
Saat ini, salah satu yang masih kurang dalam kolaborasi desa wisata kami yakni dengan akademisi dan media massa. Walaupun pemerintah punya corong media sendiri yang membantu, tapi kami rasa belum maksimal karena belum ada entitas media massa dan akademisi yang bisa mengarahkan bagaimana trajectory desa wisata berkelanjutan.