BudayaOPINILiterasi di Kota Makassar Pasca 2024: Masih Adakah Harapan?

Literasi di Kota Makassar Pasca 2024: Masih Adakah Harapan?

Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah

Upos.id, Kota Makassar, yang dahulu dikenal sebagai kota intelektual, kini seolah kehilangan arah di tengah riuhnya zaman. Sebagai warganya, kita masih menyebut diri bagian dari tradisi pelaut ulung, tetapi pertanyaannya, apakah kita masih memiliki peta untuk menavigasi lautan literasi?

Literasi sejati bukan sekadar tumpukan kata, tetapi sebuah kerja panjang jiwa, yang menyangkut proses membaca, merenung, dan akhirnya bergerak. Ia adalah nyala kesadaran yang membimbing kita, lebih dari sekadar informasi yang datang dan pergi.

Dengan kata lain, literasi adalah jalan hidup yang mengajak kita untuk menyelami makna dalam setiap kata, simbol, dan pengalaman. Ia menghubungkan kita pada kekayaan pikiran manusia yang melampaui batas waktu dan ruang. Dengan literasi, kita tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi mengolahnya menjadi kebijaksanaan yang menggugah kesadaran akan diri kita dan hubungan kita dengan semesta.

Tetapi, sampai saat ini, pasca 2024, langkah itu terasa semakin berat saja. Budaya membaca perlahan berubah menjadi sekadar ritual kosong. Buku, yang dahulu menjadi teman setia dalam keheningan, kini bergeser menjadi aksesoris di kafe-kafe hipster.

Sosial media, yang awalnya sarana berbagi pengetahuan, kini lebih banyak menampilkan cuplikan hidup yang mengutamakan popularitas ketimbang makna. Seni, yang dulu dihargai sebagai ekspresi mendalam, kini tergantikan oleh konten instan yang mudah diakses. Sementara film dan musik telah jauh kehilangan nilai artistiknya.

Jujur saja, kita lebih sering membaca untuk pamer, bukan untuk memahami. Atau bahkan lebih sering mengoleksi buku untuk hiasan di ruang tamu, bisa juga untuk menciptakan kesan bahwa “saya seorang intelektualis.” Mungkin kita telah lupa apa yang pernah diingatkan oleh Paulo Freire bahwa membaca bukan sekadar menjejalkan huruf ke dalam kepala, melainkan sebuah proses untuk belajar membaca dunia.

Di tengah hiruk-pikuk mahasiswa, yang dulu dikenal sebagai motor penggerak perubahan, kini diskusi-diskusi itu kehilangan nyawa. Obrolan yang dahulu dipenuhi semangat ide-ide besar kini terasa dangkal dan hanya sekadar mengisi waktu, mencari validasi, atau bahkan hanya untuk menghias Instagram Story.

Terkadang, saya bertanya-tanya, apakah kita telah kehilangan warisan dialektika ala Socrates, di mana percakapan bukan sekadar berbicara, tetapi sebuah sarana untuk mendekati kebijaksanaan? Percakapan, dalam tradisi tersebut, adalah ruang untuk mengasah pikiran, menguji argumen, dan memperdalam pemahaman, bukan sekadar bentuk ekspresi yang cepat berlalu.

Byung-Chul Han, dalam The Burnout Society, menyebut kita sebagai manusia yang kelelahan. Makassar, di tengah semangat kompetitif yang kian menguat, tidak luput dari diagnosis ini. Kita terus berlari, mengejar segala yang tampak di depan mata, tetapi sering kali lupa untuk berhenti sejenak dan bertanya, “Ke mana kita sebenarnya pergi?”

Membaca, yang sejatinya adalah ruang untuk jeda refleksi dan perenungan, kini terpinggirkan oleh tuntutan untuk terus produktif, untuk selalu bergerak tanpa henti. Dunia modern seolah menuntut kita untuk terus berlari, mengejar tujuan tanpa memberi waktu bagi diri untuk berhenti sejenak, merenung, dan meresapi makna dalam setiap langkah yang kita ambil.

Komunitas literasi yang banyak bermunculan di kota ini pun tak lepas dari paradoks. Di satu sisi, ada semangat untuk menyebarkan cahaya pengetahuan, tetapi di sisi lain, banyak yang terjebak dalam simbolisme seremonial semata. Kita sering kali bangga dengan tumpukan acara dan kegiatan, tetapi lupa untuk bertanya, apa dampaknya bagi masyarakat yang terpinggirkan?

Paulo Freire benar dalam peringatannya, bahwa literasi tanpa kesadaran kritis hanyalah formalitas belaka, sebuah rutinitas yang tidak mampu melahirkan perubahan nyata. Tanpa mempertanyakan dan menggugat realitas sosial, literasi hanya akan menjadi hiasan, tanpa kekuatan untuk mengubah keadaan.

Tak terkecuali era digital. Dunia digital ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membuka pintu bagi kita untuk menjelajah semesta informasi yang tak terbatas, tetapi di sisi lain, ia membanjiri kita dengan ilusi yang sulit dipisahkan dari kenyataan. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai era simulasi, sebuah masa di mana kita sering kali kehilangan kemampuan untuk membedakan yang nyata dari yang palsu.

Di Makassar, fenomena ini terasa begitu nyata. Algoritma yang dikendalikan oleh platform digital menggiring kita ke dalam ruang gema, menciptakan kenyamanan yang semu di balik layar, sementara perlahan-lahan, kita kehilangan daya kritis yang seharusnya mengarahkan kita pada pemahaman yang mendalam tentang dunia sekitar.

Meski demikian, harapan itu belum padam. Harapan selalu hidup di sela-sela kecemasan, seperti embun pagi yang tetap hadir meski malam terasa begitu panjang. Saya percaya, Makassar masih menyimpan ruh yang pernah melahirkan pikiran-pikiran besar. Kita hanya perlu menghidupkannya kembali.

Literasi tidak akan lahir dari gemerlap acara semata, melainkan dari keheningan, saat kita duduk sendiri dengan sebuah buku, saat kita merenung setelah membaca satu paragraf, saat kita berdiskusi tanpa pretensi, hanya dengan niat untuk memahami. Seperti yang pernah dikatakan oleh Michel Foucault, pengetahuan adalah kekuatan. Dan di kota ini, kekuatan itu belum mati, ia hanya tertidur, menunggu untuk dibangunkan kembali.

Makassar harus belajar menemukan kembali nyawa literasinya. Tradisi membaca yang reflektif perlu dihidupkan kembali, karena literasi sejati lahir dari keheningan dan perenungan. Diskusi yang mendalam harus kembali menjadi napas mahasiswa, bukan sekadar obrolan ringan yang tak bermakna. Literasi digital juga harus diajarkan dengan bijak, sebagai alat untuk memilah mana yang hakiki dan mana yang sekadar ilusi.

Barangkali saja, ketika hal itu terjadi, Makassar tidak hanya akan menjadi kota yang sibuk, tetapi juga kota yang hidup. Hidup dengan pikiran-pikiran yang jernih, dengan hati yang terusik oleh pertanyaan, dan dengan semangat yang tak pernah padam untuk mengubah dunia. Literasi adalah perjalanan panjang, dan Makassar masih punya waktu untuk melanjutkan perjalanan itu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[tds_leads input_placeholder="Your email address" btn_horiz_align="content-horiz-center" pp_msg="SSd2ZSUyMHJlYWQlMjBhbmQlMjBhY2NlcHQlMjB0aGUlMjAlM0NhJTIwaHJlZiUzRCUyMiUyMyUyMiUzRVByaXZhY3klMjBQb2xpY3klM0MlMkZhJTNFLg==" pp_checkbox="yes" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLXRvcCI6IjMwIiwibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjMwIiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tdG9wIjoiMjAiLCJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMjAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" display="column" gap="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTAifQ==" f_msg_font_family="702" f_input_font_family="702" f_btn_font_family="702" f_pp_font_family="789" f_pp_font_size="eyJhbGwiOiIxNCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTIifQ==" f_btn_font_spacing="1" f_btn_font_weight="600" f_btn_font_size="eyJhbGwiOiIxNiIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxMyJ9" f_btn_font_transform="uppercase" btn_text="Subscribe Today" btn_bg="#000000" btn_padd="eyJhbGwiOiIxOCIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxNCJ9" input_padd="eyJhbGwiOiIxNSIsImxhbmRzY2FwZSI6IjEyIiwicG9ydHJhaXQiOiIxMCJ9" pp_check_color_a="#000000" f_pp_font_weight="500" pp_check_square="#000000" msg_composer="" pp_check_color="rgba(0,0,0,0.56)"]

Berita terkait

Berita Terbaru