“Orang lemah tidak akan pernah bisa memaafkan, karena memberi maaf hanya dapat dilakukan oleh orang yang kuat.” Mahatma Gandhi, Revolusioner India.
Sirat makna perkataan Gandhi di atas, membuka ruang pemahaman dasar kita, perihal memaafkan, bukan hanya sekadar menyangkut soal kepentingan politik atau hasrat belaka. Akan tetapi, ia juga adalah persoalan yang menjunjung tinggi tiga nilai penting. Tiga nilai itu ialah: keadilan, keberanian, dan kebenaran.
Tiga point penting di atas perlu menjadi gugatan khusus, ketika kosa-kata sesingkat maaf, tidak melulu dimaknai sekadar aktivitas seremonial dan prosedural belaka, yang hukumnya gugur ketika ia telah keluar secara sah lewat pengucapan dua bibir.
Umumnya dan biasanya kata maaf ini diungkapkan seseorang lewat sebuah gaya dan framenya yang berbentuk perendahan hati bagi entitas yang memulainya. Kadangkala dibarengi dengan suara lemah lembut, tutur yang paling sopan dengan tujuan tidak lain untuk meyakinkan obyek pada level penerimaan yang paling klimaks.
Namun demikian, bukan berarti sepenuhnya atau satu-satunya pengguguran maaf yang dimaksud ketika berhasil melalui fase-fase singkat dan sarat prosedural ini, sesungguhnya ia hanya kulit dan pintu gerbang awal, karena subtansinya: kerendahan hati, i’tiqad memanusiakan manusia.
Gugatan dan diskursus dalam memaknai kata maaf sempat buming di sosial media khususnya di kalangan jamaah facebookiyah, para pengikut Goenawan Mohamad vs Gus Muhammad Al-Fayyadl (FNKSDA NU Jogja).
Beberapa pekan lalu tepatnya. Perdebatan panjang, yang mempercakapkan kembali konsep ‘forgivness’, pemaafan milik Jacques Derrida, menjadi topik hangat yang sedang trend diperbincangkan oleh para penikmat dan pembaca buku di Tanah Air.
Perdebatan itu bermula, saat Muhammad Alfayyadl mencoba mengkritisi Caping (catatan pinggir) milik Goenawan Muhammad yang dianggap tidak fair dalam melihat sisi teks pemaafan “Forgiveness” milik Derrida yang sesungguhnya.
Goenawan Mohammad dalam essainya itu dinilai agak salah dan keliru dalam memaknai esensial dari forgiveness Derrida. Di satu sisi GM dianggap terlalu memengalamatkan sebuah pengklaiman meaning makna, yang malah terbalik dari maksud Derrida.
Konklusi Gus Fayyadl, Goenawan Mohammad lewat tulisannya itu, seolah-olah telah menjelma menjadi pendamba Derrida yang sesungguhnya tidak pernah Derridean, sebuah kesanpun yang menurutnya Alfayyadl: “Di dalam tulisan Goenawan Mohammad ini seakan telah memberi kesan yang menuduh para korban 1965 sedang menebar dendam atau menuntut keadilan yang dilatari oleh pembalasan”.
Ia yang akrab disapa Tuan Goen dinilai memojokkan Pramoedya Ananta Toer mengadunya dengan Oey Hay Djoen dan Gusdur, ia juga dianggap memancing di air yang keruh.
Melihat Forgiveness Derrida secara fair, adil juga netral mesti diliat dari akar dasar dan maksud awal dari Derrida. Melalui On Cosmopolitanism and Forgiveness dalam awal-awal tulisannya, Derrida sesungguhnya menulis bahwa pada prinsipnya tidak ada batas bagi permaafan, tidak ada ukuran, tidak ada setengah hati, Tanpa apa kepentingan dan perlunya.
Tuntunan dan petunjuk penjelasan Derrida sebenarnya cukup jelas dalam menunjukkan suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis yang Derrida pun menganggapnya sebuah paradoxi yang berlawanan, dari permaafan itu sendiri Derrida sepertinya mengajukan pertanyaan mendasar namun menukik-tajam bahwa apalah arti dari permaafan bila ia hanya memaafkan yang dapat dimaafkan forgive the forgivable, bila ia hanya mampu memaafkan yang dapat dimaafkan.
Maka pada posisi ini ide tentang permaafan hilang dengan sendirinya. Permaafan hanya memaafkan yang tak termaafkan forgive the unforgiveable demikian sebutan Derrida. Titik dan point kuncinya adalah “maaf” baginya tak berbatas, tak berukuran dan tak bersyarat.
Memaafkan yang Tak termaafkan:
Jacques Derrida
Bagi Derrida, maaf yang bersyarat, bukanlah sebenar-benarnya maaf, ia sejatinya adalah transaksi, timbal balik ekonomis, yang dengan satu dan lain cara punya daya tawar politis tertentu, lebih-lebih jika ia mengharuskan adegan-adegan penyesalan (scenes of repentance)
Maaf itu menjadi bersyarat karena ia di berikan hanya jika yang bersalah melakukan permintaan maaf (Apology), pengakuan (confension), penyesalan (repentance), atau penebusan (redemption)
Maaf yang murni, adalah maaf yang diberikan secara Unconditional, tak bersyarat. Di posisi ini maaf merengkuh asosiasi maknanya yang tak bisa di pisahkan, yaitu memberi, bukan meminta atau menuntut.
Orang sebenarnya tak benar-benar memaafkan ketika yang ia maafkan adalah hal-hal yang dengan mudah termaafkan. Ironisnya, biasanya yang begitu ingin di maafkan justru adalah hal-hal yang tak bisa dimaafkan. Yakni ketika suatu kejahatan sudah terlalu kejam untuk “sekedar” di maafkan.
Tapi justru saat berhadapan dengan kejahatan yang terlalu kejam, karena itu ia tak bisa di maafkan, itulah maaf, kalau benar ia tak mustahil terjadi menjadi murni, di sinilah aporia, memaafkan hanya yang tak termaafkan atau forgiveness forgives only the unforgivable.
“Sejatinya, memaafkan adalah melepaskan orang yang bersalah, berdamai dengan diri sendiri, tanpa mengungkit atau memberi syarat untuk dilakukan oleh orang yang bersalah, sebagai bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan diri”.
Mari saling memaafkan tanpa syarat, karena memaafkan dengan syarat sejatinya bukanlah bentuk pemaafan, tapi timbal balik balasan dengan bentuk Hukuman.
Penulis : Sulaiman Gibrhan (Peneliti Konflik Papua vs NKRI di Jogjakarta dan Mahasiswa Akhir di FISIP-UH)