Upos.id,Gowa—Di era globalisasi yang serba modern, kesadaran terhadap budaya lokal kerap tergeser oleh pengaruh budaya luar. Namun, seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Makassar bernama Kharisma Saputri berhasil menunjukkan bahwa warisan budaya tidak hanya harus dijaga, tetapi juga dapat menjadi alat pendidikan yang membangun identitas generasi muda.
Pada 29 April 2024, Kharisma merealisasikan program bertajuk “Gerakan Literasi Mengajar Budaya Kita dan Lontara”. Dalam program ini, ia mengajarkan Aksara Lontara, salah satu warisan budaya Sulawesi Selatan, kepada anak-anak panti asuhan di Kabupaten Gowa. Langkah ini menjadi bukti nyata dedikasinya untuk melestarikan budaya lokal sekaligus memberi dampak sosial yang positif bagi komunitas sekitarnya.
Perjalanan Inspiratif Sang Duta Wisata
Lahir di Luwu pada 25 April 2002, Kharisma bukan hanya dikenal sebagai mahasiswi yang cantik dan berprestasi, tetapi juga sebagai sosok yang peduli terhadap pelestarian budaya. Gelar Taulolo atau Duta Wisata Kabupaten Gowa yang diraihnya semakin memperkuat tekadnya untuk mengemban tanggung jawab besar dalam mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya menjaga kearifan lokal.
“Saya percaya bahwa sekolah bukanlah satu-satunya tempat untuk belajar,” ujar Kharisma, mengutip filosofi Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Filosofi inilah yang menjadi landasan program kerja yang ia rancang selama masa jabatannya sebagai Duta Wisata.
Program Gerakan Literasi Mengajar Budaya Kita dan Lontara ini bertujuan mengenalkan kembali budaya Indonesia, khususnya di Kabupaten Gowa, kepada anak-anak. Fokus utama dari program ini adalah mengajarkan Aksara Lontara, sistem tulisan tradisional masyarakat Bugis-Makassar, yang kini mulai jarang dikenal, bahkan oleh generasi muda.
Menghidupkan Pembelajaran dengan Kreativitas
Kharisma menyadari bahwa mengajarkan budaya kepada anak-anak memerlukan pendekatan yang kreatif agar mereka tetap antusias. Untuk itu, ia menggunakan metode *Team Games Learning*, yaitu sistem pembelajaran berbasis permainan. Dengan cara ini, anak-anak tidak hanya belajar secara pasif, tetapi juga terlibat aktif melalui aktivitas bermain yang menyenangkan.
“Minat anak-anak terhadap budaya lokal memang tergolong rendah, sehingga tantangan utamanya adalah bagaimana membuat mereka tertarik. Melalui permainan, belajar menjadi lebih seru dan tidak membosankan,” jelas Kharisma.
Selama sesi pembelajaran, anak-anak terlihat bersemangat. Mereka tidak hanya belajar mengenal huruf-huruf Lontara, tetapi juga memahami cerita di balik budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kharisma berharap bahwa pengalaman ini dapat menanamkan rasa bangga terhadap budaya lokal dalam diri anak-anak tersebut.
Misi Besar di Balik Langkah Kecil
Bagi Kharisma, gerakan ini bukan hanya tentang mengajarkan Aksara Lontara. Lebih dari itu, ia ingin membangun kesadaran bahwa budaya adalah identitas yang perlu dijaga, terutama di tengah era modern yang cenderung melupakan nilai-nilai tradisional.
“Indonesia sangat kaya akan warisan budaya, terutama di Kabupaten Gowa. Tapi jika tidak dikembangkan dan dikenalkan kepada generasi muda, warisan ini bisa punah oleh zaman. Dengan mengajarkan kepada anak-anak, kita sebenarnya sedang mewariskan budaya ini untuk masa depan,” ujar Kharisma penuh keyakinan.
Program ini juga menyoroti isu penting: pendidikan tidak harus selalu formal. Menurut Kharisma, panti asuhan adalah salah satu tempat di mana anak-anak dapat memperoleh pendidikan tambahan yang memperkaya wawasan mereka. Dengan cara ini, mereka tidak hanya mendapatkan pengetahuan akademis, tetapi juga nilai-nilai budaya yang akan membentuk karakter mereka di masa depan.
Menginspirasi Generasi Muda untuk Melestarikan Budaya
Kharisma membuktikan bahwa peran generasi muda sangat penting dalam menjaga keberlanjutan warisan budaya. Melalui programnya, ia menginspirasi banyak orang untuk tidak melupakan akar budaya yang menjadi identitas bangsa.
Langkah kecil Kharisma dalam mengenalkan Aksara Lontara kepada anak-anak panti asuhan mungkin terlihat sederhana. Namun, dampaknya sangat besar dalam upaya melestarikan warisan budaya Indonesia. Ia mengajarkan kita semua bahwa melestarikan budaya tidak memerlukan langkah besar. Mulailah dari lingkungan sekitar, dengan tujuan yang jelas dan hati yang tulus.
Sebagai Duta Wisata, Kharisma memberikan contoh bahwa gelar bukan sekadar simbol, tetapi tanggung jawab. Ia telah membuktikan bahwa dengan semangat, kreativitas, dan kerja keras, generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang membawa warisan budaya ke masa depan.
Semoga sosok seperti Kharisma dapat menginspirasi lebih banyak anak muda di Indonesia untuk melestarikan kearifan lokal dan menjadikannya sebagai bagian dari perjalanan hidup mereka. Sebab, budaya adalah harta yang tak ternilai, dan menjaga keberadaannya adalah tugas bersama.