Oleh : Muh. Asratillah S (Direktur Profetik Institute)
Kenapa saya menulis? Bagi saya pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab, namun begitu penting untuk diacuhkan. Dan memang, secara filosofis pertanyaan yang penting dan nampak sederhana, justru membutuhkan jawaban yang kompleks. Apa itu hidup? Apa itu keberadaan? Apa itu pengetahuan dan kebenaran? Apa yang kita maksud dengan seni dan keindahan? merupakan pertanyaan-pertanyaan penting dan selalu mengganggu pikiran, terutama dalam waktu-waktu senggang. Tapi sampai hari ini, dari ribuan buku yang ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penting tersebut, belum ada yang nampak begitu memuaskan.
Saya teringat di awal tahun 2004, hasrat menulis mulai muncul saat begitu banyak peristiwa personal dan sosial yang menuntut untuk direfleksikan, yang senantiasa mendesak untuk dipikirkan ulang. Peristiwa personal dan sosial yang saya maksud di sini, adalah persoalan yang berkaitan dengan topik-topik abadi dalam sejarah manusia namun kebetulan bergelut dengan diri saya dengan segala kekonkritannya. Cinta, rindu, kasih-sayang, kebahagiaan, keadilan, kemanusiaan, pembebasan, kebebasan dan kemerdekaan manusia, absurditas eksistensi manusia, hingga makna keberadaan alam semesta, merupakan topik-topik yang seringkali memprovokasi banyak pertanyaan.
Saya yakin topik-topik tersebut juga pernah terpikirkan oleh orang-orang di sekitar saya, namun bagi saya waktu itu, hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, bukanlah sesuatu yang remeh temeh, namun sesuatu yang berharga dan dalam level tertentu bisa menimbulkan rasa bahagia saat memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Topik-topik tersebut dan pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkannya, adalah sesuatu yang berkaitan dengan hakikat diri saya, dan bisa membantu saya untuk memahami pertanyaan lain yang jauh lebih penting, “siapakah saya?”.
Dalam waktu-waktu tertentu terutama saat senggang, saat lagi duduk menikmati secangkir teh, saat duduk diam di atas pete-pete, sehabis sholat dan menunggu jadwal mata kuliah berikutnya, atau saat merebahkan badan sejenak untuk menghilangkan penat, saya mencoba sebisa mungkin mengutak-atik jawaban yang mungkin untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari topik-topik tersebut. Dari manakah asal rasa cinta? Mungkin merupakan hal alamiah, yang merupakan perpanjangan lebih lanjut dari hasrat kawin-mawin dari binatang yang jenjang evolusinya lebih rendah dibanding Homo Sapiens (karena kebetulan saat itu di Teknik Geologi diajarkan mata kuliah Paleontologi, yang membahas evolusi makhluk hidup di Bumi, sejak era Kambrium hingga Holosen dalam penanggalan sejarah geologi). Ataukah cinta berasal dari sesuatu yang sifatnya lebih metafisik, sebagaimana dijelaskan dalam teks-teks keagamaan, bahwa rasa cinta bermula saat Adam dan Hawa saling beradu mata dan rasa rindu di jannah. Dan banyak lagi eksperimentasi pikiran yang sama untuk menjawab pertanyaan dari topik-topik lain.
Walaupun hal tersebut menyenangkan dan membahagiakan, namun di satu sisi membebani secara psikologis. Seperti yang diucapkan oleh Schopenhauer (1788-1860), setiap pengetahuan akan mendatangkan jenis penderitaan baru. Kenapa demikian? Karena setiap kali kita menemukan kemungkinan jawaban yang baru, maka akan membuat kita memandang realitas dengan cara yang baru, dan seringkali dengan cara yang lebih kompleks. Awalnya saya memandang bahwa persoalan jatuh cinta hanya soal sekedar bertemu, saling nyaman, lalu ada niatan untuk hidup bersama. Tapi sesaat setelah saya menulusuri jawaban dari pertanyaan “dari manakah asal rasa cinta?”, maka cinta nampak jauh lebih bernuansa, lebih problematis dan kompleks tentunya. Apakah cinta antar manusia sekedar upaya untuk memperhalus dorongan biologis reproduksi dari binatang? Ataukah sesuatu yang lebih spirituil. Apakah sosok perempuan yang saya cintai mesti saya pandang sebagai “betina” yang akan menjadi partner dalam reproduksi, ataukah dia merupakan pengejawantahan dari “Maha Cinta”?. Ini bukan soal menentukan mana jawaban yang paling benar, namun mana jawaban yang akan berkonsekuensi paling baik secara etik.
Dalam kadar tertentu, derita yang diakibatkan pengetahuan, akan sedikit reda jika dibagikan dalam sebuah diskusi. Saling berbagi pertanyaan, dan bagaimana cara kita mendekatinya lalu menjawabnya, akan mendatangkan semacam kelegaan. Cuman yang menjadi soal adalah, tak banyak orang yang punya minat untuk merefleksikan atau memikirkan dengan serius topik-topik yang saya sebutkan tadi. Di sinilah letak urgensi menulis bagi saya, setiap jawaban yang saya coba telusuri bisa didokumentasikan dengan rapi, punya efek melegakan sebagaimana diskusi dan setiap saya ingin memikirkan ulang topik yang sama, saya tidak usah berangkat dari titik “nol” tapi saya bisa berangkat dari “jawaban” yang telah saya tuliskan sebelumnya. Hal ini tentunya juga terjadi dalam sejarah ilmu pengetahuan, ditemukannya aksara, lalu diciptakannya mesin cetak massal pertama oleh Gutenberg (1398-1468) akan memicu pertumbuhan tubuh ilmu pengetahuan secara pesat, seorang ilmuwan tidak mesti berangkat dari “titik nol” dalam penelitiannya tapi bisa mengacu atau memanfaatkan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang telah dituliskan. Dengan kata lain, bagi saya menulis bukan hanya berguna untuk melegakan “derita pengetahuan”, namun juga membantu agar pikiran saya bisa bertumbuh.
Lalu akhirnya “esai” merupakan bentuk yang saya pilih untuk menumbuhkan tulisan-tulisan saya. Kumpulan esai pertama yang saya publikasikan dijuduli “Hasrat Kebenaran” (2013). Saya masih teringat, saat meminta kesediaan Almarhum Ishak Ngeljaratan untuk menuliskan prolog untuk buku tersebut. Di ruang tamu rumahnya yang bersih nan sederhana, beliau berucap pada saya “selamat nanda¸ banyak orang yang telah memiliki nisan di pemakaman, namun tak memiliki penanda/nisan dalam sejarah. Sekarang nanda telah memiliki nisan dalam sejarah, sebelum memiliki nisan di pemakaman kelak”. Saya ingin mengatakan, bahwa salah satu yang mendorong saya untuk menuliskan esai, karena keinginan untuk tak lenyap begitu saja dalam “sungai sejarah”. Ada kata bijak yang berbunyi bahwa “menulis adalah salah satu bentuk mengantisipasi kematian”, menulis adalah upaya untuk menjadi “kekal” dalam arus sejarah yang senantiasa berubah. Dalam nada yang agak sedikit platonik, tubuh pasti akan membusuk namun gagasan akan tetap hidup selama ada yang membaca tulisan-tulisan kita.
Dalam buku “Hasrat Kebenaran” (2013), esai-esai yang saya tuliskan berputar sekitar hasil refleksi terhadap beberapa teori dan gagasan filosofis, yang seringkali saya diskusikan bersama kawan-kawan dalam forum-forum terbatas, termasuk refleksi terhadap beberapa bahan bacaan yang telah saya lahap sebelumnya. Saya punya kebiasaan saat itu untuk “tidak menerima mentah-mentah” segala bentuk proposisi yang saya dengar atau saya baca. Dengan kata lain, esai-esai dalam “Hasrat Kebenaran” adalah interpretasi lebih lanjut sekaligus catatan kaki kritis terhadap metode Ilmiah, eksistensialisme, fenomenologi, teori budaya dan studi agama. Saya tidak punya preseden akademik sama sekali dalam menuliskan esai-esai tersebut, mengingat saat itu saya sedang menjadi staf pengajar untuk prodi Teknik Pertambangan di salah satu kampus swasta dan mata kuliah yang saya ajarkan hampir semuanya tergolong mata kuliah eksakta (Mekanika Teknik, Mekanika Batuan, Ekonomi Bahan Galian dll.). Esai-esai tersebut lahir karena saya merasa teori dan gagasan yang saya refleksikan ulang membantu saya dalam menjelaskan topik-topik eksistensial seperti yang saya sebutkan di awal.
Plotinus (204-270) pernah berucap “lakukanlah pendakian ke dalam dirimu”, dan persis seperti itulah yang saya lakukan saat saya menulis. Selama ini saya juga menulis untuk kepentingan jurnal, untuk kepentingan laporan riset, atau berupa buku ajar di kampus. Namun tulisan yang saya anggap sebagai “tulisan yang sebenarnya”, adalah esai-esai yang berawal dari keresahan eksistensial yang saya alami. Saya menilai, tulisan saya di jurnal, laporan riset atau bahan ajar “tidak membawa saya kemana-mana dalam rangka untuk melakukan pendakian ke dalam diri saya sendiri”. Bagi saya yang layak disebut tulisan adalah torehan tinta (baik dalam artian konvensional ataupun komputasional), yang punya akar yang kuat dalam “diri”, yang berangkat dari kebutuhan diri untuk semakin mengenal dirinya. Ya bagi saya tulisan adalah produk meditasi, menulis adalah salah satu bentuk meditasi.
Pasca 2013 saya terlibat aktif dalam aktivitas politik, dan ini tentunya membuat saya terlibat dalam persoalan-persoalan publik, seperti kekerasan massal, kemiskinan, kerusakan lingkungan, pengayaan kebudayaan nasional, pendewasaan demokrasi dan sebagainya. Ini tentunya mendorong saya untuk merefleksikan hal-hal tersebut. Maka lahirlah tiga kumpulan esai berikutnya, di tahun 2020 terbitlah “Anti Demagog” yang banyak meneropong persoalan demokrasi dan peran agama di ruang publik. Di tahun 2021 terbitlah “Habitus Jahil”, dan di tahun 2022 lahirlah kumpulan esai yang merupakan hasil kolaborasi dengan empat penulis lainnya yang dijuduli “Asa dan Absurditas Demokrasi”.
Esai-esai yang ada pada ketiga buku tersebut pernah dipublikasikan melalui media massa baik cetak ataupun online. Sehingga esai-esai tersebut bukan hanya cermin dari kegelisahan terhadap persoalan-persoalan publik, namun juga merupakan salah satu upaya untuk menuntut perubahan sosial. Ternyata tulisan terutama esai memiliki dua wajah, di satu sisi merupakan manifestasi dari segala kegundahan alam batin, namun di sisi lain memungkinkan menjadi katalisator untuk mengubah keadaan. Karena prasyarat untuk mengubah keadaan adalah membuat orang lain menyadari bahwa ada sesuatu yang problematik pada keadaan tersebut.
Tapi saya tidak bisa membayangkan, apakah saya akan punya hasrat untuk menulis esai, andai saya tidak akrab dengan buku sedari awal? Berefleksi, membaca dan menulis adalah tiga serangkai yang sulit dipisahkan. Berefleksi akan membuat kita intim dengan topik-topik penting dalam hidup, membaca akan membawa kita bertualang sekaligus berwisata ke jawaban-jawaban yang pernah dilontarkan untuk menjawab pertanyaan yang juga menggelisahkan kita, dan akhirnya menulis membantu kita untuk menumbuhkan segala sengkarut gagasan dan pikiran yang lalu-lalang dalam kepala kita. Jika tak salah Nietzsche (1844-1900) pernah berucap bahwa pikiran bisa diibaratkan sebagai kuda liar, mesti ada kehendak untuk mengendalikannya dengan tali kekang yang cukup kuat. Tulisan bisa menjadi tali kekang yang cukup kuat untuk mengendalikan pikiran kita sendiri.