Oleh: Kolonel Laut Dr. M. Asri Arief, S.H., M.Si., CTMP (Asisten Bidang Pidana Militer Kejati Sulsel)
Koneksitas berasal dari bahasa Latin yaitu connexio yang bermakna suatu perkara pidana yang dilakukan oleh masyarakat sipil bersama-sama dengan anggota militer, di Indonesia pun perkara koneksitas sudah lama dikenal meski tidak menyebut istilah “koneksitas”. Sebagai contoh, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara. Selanjutnya, disebut juga dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer”.
Hal yang menarik dalam Penjelasan Pasal 22, bahwa kewenangan pengadilan umum untuk mengadili perkara yang dilakukan oleh mereka yang termasuk anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) bersama-sama dengan bukan anggota ABRI, merupakan suatu bentuk kekacauan atau penyimpangan. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa kewenangan pengadilan umum dibatasi sepanjang terdapat penyertaan.
Menurut Rizal F dan Jefferson Hakim (2023), tidak ada perbedaan ketentuan koneksitas dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Namun jika dikaji lebih mendalam, terdapat dua pandangan yang berkembang di lingkungan akademisi dan praktisi hukum terkait penanganan perkara koneksitas.
Pertama, bahwa penyidikan koneksitas oleh Tim Tetap Penyidik Koneksitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) KUHAP dapat dilakukan dalam hal terdapat Keputusan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman yang menyatakan perkara tersebut diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) KUHAP.
Pandangan kedua, bahwa penyidikan koneksitas oleh Tim Tetap Penyidikan Koneksitas yang dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) KUHAP dilakukan tanpa adanya Keputusan Menteri Pertahanan dan persetujuan Menteri Kehakiman. Namun harus diingat, bahwa pembentukan penyidik koneksitas harus didasarkan surat Keputusan Menteri Pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) KUHAP.
Perkara koneksitas, seringkali disebut lex imperfect (aturan yang tidak disertai dengan sanksi huku). Sehingga dalam pelaksanaan, penerapan ketentuan koneksitas sebagaimana diatur dalam KUHAP, Undang-Undang Peradilan Militer dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman terabaikan.
Padahal, tujuan penanganan perkara koneksitas, tentu untuk mencegah disparitas hukuman. Dari berbagai literatur, menyebutkan bahwa alasan hukum dan di luar hukum menjadikan perkara koneksitas dilaksanakan secara sendiri-sendiri.
Alasan hukum antara lain penanganan perkara koneksitas membutuhkan prosedur yang panjang seperti perlunya Keputusan Bersama Menteri. Alasan lain, berubahnya tugas, fungsi dan numenklatur Menteri terkait. Adapun alasan di luar hukum antara lain pola fikir yang menganggap bahwa lingkungan militer kebal hukum dan lain-lain.
Dari uraian di atas, penulis teringat text line sebuah iklan rokok yang menyuarakan rendahnya kadar nikotin. How Low Can You Go, diterjemahkan seberapa jauh kita siap untuk merendah dan memulai inisiatif itu (keputusan merendah di sini murni take control of ourself).
Kalimat How Low Can You Go dapat dilihat sebagai sebuah tantangan untuk berinisiatif, tantangan untuk take that first step dan seberapa besar kita melakukan yang sedikit berbeda. Pemaknaan ini, penulis ingin kedepankan untuk mendiskusikan beberapa catatan kaki penanganan perkara koneksitas.
Pertama, kesenjangan antara norma hukum yang menjadi landasan hukum (das sollen) dengan implementasi dalam proses hukum perkara koneksitas (das sein). Kedua, bagaimana implikasi hukum jika penanganan perkara koneksitas tidak dilaksanakan sesuai ketentuan KUHAP dan Undang-Undang Peradilan Militer. Ketiga, bagaimana hukum kedepan merespon perkara koneksitas, law in book dioperasionalkan ke dalam law in action. Keempat, adagium lex imperfect semoga tidak dijadikan alasan pembenar untuk penanganan perkara koneksitas tidak diselesaikan sesuai mekanisme koneksitas. We can not go back and make new start, but we can start now to make new and better.