Stanislavsky, pernah bilang, teater di atas panggung menyajikan subteks kepada penonton, bukan menonton teks. Sebab bila hendak menonton teks, semestinya penonton meminta saja naskahnya.
Dan bagi saya, menyimak Teater entah teater monolog, teater drama konvensional ataupun kontemporer adalah memperhatikan moving, keaktoran, struktur dramaturgi hingga artistik (lighting, properti, kostum dan makeup).
Begitupun ketika menyimak pertunjukan monolog Aktor Dwi Lestari Johan berjudul ” Belanja Citra” Rabu, 21 Februari 2024 di aula Benteng Rotterdam -sebuah bangunan bekas gereja yang dibangun Kerajaan Belanda bersama VOC saat merebut Benteng Panyyua dari kerajaan Gowa.
Pertunjukan ini adalah pembuka bagi tur pertunjukan Belanja Citra oleh aktor yang banyak bermain sebagai aktor di Kala Teater Makassar – sebelumnya perempuan seniman ini belajar sebagai penari di grup Sanggar Alam Serang Dakko- lalu dilanjutkan di beberapa tempat di Sulawesi Selatan seperti, di kota Sengkang Kabupaten Wajo, di Watampone, kabupaten Bone dan di Kabupaten Sinjai.
Dua tahun sebelumnya, tepatnya 6 November 2022, di Taman Macan, Dwi Lestari juga mengangkat “Belanja Citra” dengan pendekatan Seni Performans dalam proyek pembacaan isu-isu kota Proyek kota dalam Teater (City Of Theater) – sebuah program berkala yang dibuat Kala Teater. Ketika itu, Dwi Lestari performing Belanja Citra dinyatakan lewat menempeli sekujur tubuhnya yang terbuka dengan uang koin yang turut mengundang audiens untuk ikut menempelkan koin-koin tersebut.
Ketika pertunjukan yang disokong dukungan Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi RI, Dana Indonesiana dan LPDP, ini mengambil pendekatan pertunjukan teater monolog, maka “Belanja Citra” membutuhkan beberapa elemen pendukung pertunjukan.
Elemen pertunjukan tersebut secara mendasar meliputi, naskah, dramaturgi, penyutradaraan, keaktoran dan artistik. Dalam keterangan tentang pertunjukan penulis naskah monolog Belanja Citra adalah Inayah, dramaturgi oleh Shinta Febriany, sutradara Arman Dewarti dan Pimpinan Produksi Sabri Sahafuddin.
Saya ingin menelisik langsung kepada unsur intrinsik pertunjukan. Mengingat wacana uang panaik bagi saya sesuatu yang sudah melelahkan, hingga saya memutuskan untuk membahasnya pada bagian-bagian akhir tulisan ini.
Pertunjukan ini dimulai setelah narator atau semacam master of ceremony memberi penjelasan ringkas dan memberi tanda pertunjukan dimulai. Pertunjukan Teater mengenalnya sebagai opening atau pembukaan, aktor muncul dari arah penonton dan duduk di sebuah kursi di depan meja besar berisi tumpukan buku dan berkas. Aktor duduk membelakangi penonton sedang mengisap rokok.
Dari arah samping kanan atas penoton sorotan cahaya biru lembut menimpa aktor dan meja besar tersebut, menghadirkan suasana siluet di panggung, suasana pembuka ini dikuatkan dengan backsound musik seperti blues menguatkan pergulatan batin sang aktor atas masalah yang sedang dihadapinya. Sebenarnya bila jeli, pertunjukan ini sudah dimulai semenjak ruang aula itu mulai disiapkan dan mulai dimasuki oleh penonton yang mengisi kursi – kursi yang disiapkan. Musik backsound seperti musik blues itu sudah terdengar lembut di ruangan yang kemudian tinggal dinaikkan volumenya ketika narator atau semacam MC itu memberi aba-aba pertunjukan dimulai.
Saya langsung mengenali strategi membuka pertunjukan ini. Yah! Dugaan saya kuat ini adalah saran sutradaranya, yaitu Arman Dewarti. Kak Arman – begitu teman-teman di lingkungan kesenian di Makassar akrab menyapanya- pernah memberi saran strategi opening pertunjukan monolog yang saya mainkan di akhir tahun 2014, ketika itu saya yang membawakan monolog “Matinya Seorang Bajingan” – adaptasi naskah Aeng Karya Putu Wijaya- saya diminta untuk sudah “memulai” pertunjukan saat set masih disiapkan. Bahkan sebenarnya narator atau semacam MC tidak perlu ada sehingga berkesan penonton tidak menyadari pertunjukan sudah dimulai sedari tadi.
Makanya saya langsung mengenali strategi opening ini. Karena tentu saja sutradara monolog Belanja Citra ini Arman Dewarti. Bukan hanya itu, pengantar masuk ke tema ceritanya pun adalah upaya membangun komunikasi ke penonton dan melibatkan secara emosional dan wacana terhadap isu perempuan dan gender. Sekira 15 menit Dwi Lestari Johan berupaya membangun koneksi ke penonton dengan meneror penonton atas kecurigaan bahwa penonton tengah ikut-ikutan memberikan penilaian negatif atas penampilan dan peran perempuan.
Tentu saja penonton merasa serba salah dan teror itu berhasil membuat penonton setidaknya saya menjadi seperti tertuduh. Saya menduga Dwi Lestari Johan tidak cukup betah membangun suasana tersebut disebakan takut penonton jadi bosan dan bisa-bisa meninggalkan ruang pertunjukan. Lagi-lagi saya merasa ini saran sutradaranya. Suatu kali, kak Arman menyarankan saya menonton beberapa film Amerika latin yang bergenre monolog, film yang berisi seeperti wawancara dalam film-film dokumenter yang berlangsung lama dan membosankan. Namun, situasi itu berhasil ‘memerangkap’ penonton untuk dikuasai. Fokus dan menyedot penonton ‘masuk’ ke dalam kisah yang hendak dibangun aktor. Ketika saya disarankan hal tersebut yang melakukannya dan dengan tambahan vokal lebih diturunkan guna memaksa penonton fokus pada pertunjukannya.
Dengan dua trik seperti itu, tentu saja opening ini butuh menjaga intensitas koneksi dengan ‘ruang’ dan ‘penonton’ yang ada di dalamnya. Juga memperpanjang sampiran -seperti dalam pantun- sebelum masuk ke pertunjukan itu sendiri. Intinya, “jangan masuk ke pertunjukan sebelum ruang dan penonton sudah dikuasai”
Dugaan tentang keaktoran.
Strategi pertunjukan yang diberikan sutradara seperti kak Arman biasanya melakukan editing secara global. Cukup dengan memperhatikan opening, dinamika dengan beberapa suspensi hingga ending. Selebihnya dan sebagian besar akan diserahkan pada kemampuan aktor. Karena itu dugaan saya berikutnya ada di keaktoran. Butuh aktor yang cerdas dan berpikir taktis. Bahkan saat situasi panggung ditengah pertunjukan tidak seperti yang sudah direncanakan.
Beberapa kali menyaksikan pertunjukan Kala Teater dimana Dwi Lestari turut bermain, ia cukup piawai memainkan “laku dalam”nya, namun pertunjukan yang di aula benteng Rotterdam tersebut, saya menangkap keraguan-raguan, pun semacam ketidak yakinan atas lakon yang diperankan. Ketidakyakinannya tersebut terdeteksi saat akting merokok, ketika harus bergerak antara depan dan belakang meja besar, memainkan koin uang dan mendorong toples berisi uang koin, hingga saat adegan ending yang merapikan buku yang tidak berantakan tersebut – saya sempat berpikir kenapa buku yang tertata rapi itu yang dia sentuh, kenapa bukan koin-koin berserakan itu yang dipungutinya. Hingga ending yang dibuat tidak memberikan “kejutan” yang memukau.
“Kejutan” yang seharusnya hadir di beberapa adegan tidak dilakukan. Ketika adegan sidang perceraian, kejengelan atas pendapat hakim yang diprotes oleh pemeran, adegan aktor tengah menceritakan kembali seorang tantenya yang mendapatkan masalah serupa dengan sang aktor. Atau saat adegan menghambur uang koin dalam toples tersebut. Dugaan saya, Dwi mencoba bermain aman, dan fokus pada narasi yang disampaikannya jelas ditangkap penonton.
Dugaan pada Artistik
Meja besar dengan tumpukan buku dan dokumen, menyampaikan pesan bahwa sang aktor memerankan seorang perempuan dengan gelar pendidikan tinggi, dan karir yang cemerlang. Juga tokoh ini adalah perempuan dengan pikiran terbuka dan modern.
Namun, properti itu di ruangan aula benteng yang tidak cukup luas terasa sesak dan penuh. Mungkin akan berbeda bila pertunjukan dilakukan di atas panggung seperti biasanya. Itupun meja dan tumpukan buku itu menenggelamkan tubuh aktor sekaligus mengganggu pergerakan aktor. Juga membuat jarak penonton dan pertunjukan cukup rapat. Apalagi sepanjang pertunjukan, properti ini terutama buku-buku dan dokumen-dokumen di atas meja itu tidak terlalu berfungsi –atau difungsikan- lebih berkesan pajangan saja.
Dugaan Pada naskah.
Tema uang panaik yang dibahas naskah ini tidak jauh berbeda dengan yang sudah sering kita dengar atau baca dibeberapa cerita terkait itu. Cerita pertunjukan ini berupaya memberi bentuk berupa adegan-adegan pada keluhan si tokoh atas nasib pernikahan yang telah dijalani bertahun – tahun lalu kemudian terancam bubar.
Stanilavsky yang saya kutip diawal tulisan mendaraskan bahwa penonton menyaksikan pertunjukan untuk melihat subteks bukan teks. Pertunjukan yang bagus biasanya dihasilkan oleh naskah bagus. Selain bahwa naskah teater butuh plot, butuh pergerakan, juga butuh menantang kemampuan keaktoran seorang aktor. Apalagi sebuah pertunjukan teater monolog.
Naskah yang dibuat Inayah berupaya ditubuhkan dalam adegan sidang perceraian lalu dibandingkan dengan nasib nahas seorang tantenya yang akhirnya tak menikah dengan kekasihnya karena terhalang masalah uang panaik. Premis yang diajukan naskah adalah; “tradisi uang panaik menjadi sebab pernikahanku sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena juga sejak awal kita tidak pernah saling mencintai, uang Panaik ini juga yang menjadi sebab tanteku gagal menikah dengan pujaan hatinya”
Premis yang diajukan dan teks naskah yang ditubuhlan lewat adegan sidang perceraian dan kisah Tante di tokoh itu tak cukup kuat untuk punya keterkaitan atau hubungan kausalitas. Apalagi juga ada informasi bahwa suami si tokoh ini rupanya sudah punya istri lain dan telah menjalan pernikahan lain itu bertahun tahun lamanya tanpa diketahui si tokoh. Mungkin akan lebih baik bila plot ceritanya menjadi begini; si tokoh tengah menghadapi masalah besar karena dia dipaksa menerima perjodohan orang tuanya yang punya alasan konyol yang tidak bisa diterimanya yaitu status sederajat dan kesanggupan memenuhi permintaan uang panaik. Si tokoh dibayangi trauma tentang tantenya yang gagal menikah dengan kekasihnya karena masalah uang panaik.
Tema atau saya menyebut wacana “Belanja Citra” tersebut berkisar terhadap kritik atas tradisi masyarakat Bugis dan Makassar yang disebut sebagai uang panaik — awalnya dalam sekelabat undangan untuk menonton pertunjukan Belanja Citra ini saya sempat menduga pertunjukan ini bicara isu politik, maklum baru saja perhelatan pemilu digelar 14 Februari lalu.
Tradisi ini wacana yang cukup viral dan menjadi perhatian nasional di era keterbukaan informasi dengan berkembangnya sosial media. Bahkan menginspirasi sebuah produksi film lokal untuk mengangkat menjadi film layar lebar dengan judul – yang tanpa tendeng aling-aling- Uang Panaik. Wacana sosiologis atas tradisi uang panaik ini dipandang sebagai proses transaksional atas pernikahan. Tak jarang perkara uang panaik yang bisa dipenuhi sang calon pengantin pria tersebut membuat niat untuk mempersunting pujaan hati kandas.
Uang panaik di era kekinian satu sisi dikritik sebagai pandangan materiatis juga suatu ajang pamer kuasa dan status seseorang. Namun bagi saya, wacana ini sesungguhnya tidak lagi begitu menarik. Bahkan kalau tak mau dibilang melelahkan. Sebabnya, percakapan tentang uang Panaik hanyalah percakapan yang terus berulang-ulang yang makin membuat pelaku dan yang menyerangnya semakin “tersesat” atas tradisi. Informasi budaya yang saya asup tentang uang Panaik berbeda dengan yang sekarang ini banyak dipahami baik oleh orang Sulsel sendiri terlebih orang di luar Sulsel. Bagi saya, uang panaik hanyalah tradisi bagi kalangan bangsawan kerajaan Bugis yang menikahkan putra-putrinya yang lebih dahulu mesti menyejajarkan derajat kebangsawanannya dengan cara menaikkan sejumlah barang berharga biasanya emas seberat badan yang akan “diberikan panaik”.
Sependek pengetahuan saya, uang panaik hanya diberikan seorang anak bangsawan yang derajat kebangsawanannya dibawah derajat kebangsawanaan putri yang hendak dipersuntingnya. Sementara bagi rakyat biasa sesungguhnya tak mengenal istilah “panaik” tersebut. Tetapi yang dikenal dan dianggap sebagai “uang panaik” -selain Mahar sebagai rukun nikah dalam Islam- adalah uang belanja pesta pernikahan atau uang belanja untuk membuat ritual pernikahan. Itupun, saya kira standar harga yang ditetapkan tersebut selalu kurang dan karenanya dalam keluarga perempuan berjalan skema urungan dari “majelis om dan Tante”
Lagipula bagaimana bisa sesumbar betapa besar cintamu kepada sang kekasih, dimana samudera akan kau seberangi, gunung Himalaya kau akan daki, tapi kau mengeluh karena urusan. Uang panaik. Kau menuding budaya telah mentransaksionalkan perasaanmu. Padahal orang tua kekasihmu ingin melihat benarkah cintamu setinggi gunung Himalaya? (#)