Oleh: Fadli Dason (Peneliti Profetik Institute)
UPOS.ID Melihat mahalnya biaya politik menjadi problema tersendiri bagi pilkada. Biaya yang dikeluarkan untuk mengoperasikan pekerjaan politik dengan tujuan pemenangan dan biaya yang dikeluarkan dalam meraup suara yang biasa kita sebut sebagai Money Politik.
Dalam mendongkrak elektabilitas terkadang kandidat menggelontorkan biaya yang besar, memasang baliho yang banyak, membagikan sembako, Money Politik, dan lain-lain, kita dapat menyebut ini sebagai pragmatisme politik—yakni materi yang dianggap memiliki nilai kegunaan yang mesti didahulukan lebih dulu. Sementara ada matematika politik yang lebih rasional yakni kandidat menyapa langsung masyarakat, bercakap-cakap, sedikit-sedikit mulai menyampaikan visi dan misi, tapi tidak boleh memberikan apapun yang berwujud materi, hanya melakukan percakapan yang mendalam–barangkali ini dapat menjadi cara memurahkan biaya politik, kita dapat menyebutnya sebagai politik berbudaya, antitesis pragmatisme politik.
Pragmatisme politik—tentu yang paling banyak dipraktek kan sekarang. Pragmatisme politik lebih sering digunakan oleh kandidat yang memang punya kekayaan yang mampu membiayai segala kepentingan politik untuk dirinya maupun orang lain, sebagai donatur. Ada juga yang justru menggantungkan kepentingan politiknya kepada donatur, diluar kemampuannya sehingga terkesan mamaksakan.
Orang-orang kaya ini dapat membangun kekuataan dengan uang hingga mendapat kekuasaan, ada juga kekuasaan yang justru memanfaatkan kekayaan orang-orang tersebut. Inilah penerapan pragmatisme politik untuk merebut kekuasaan dengan cara yang mahal. Meskipun tidak efektif sebab visual dari kandidat yang kita temukan di sudut-sudut, persimpangan, pinggir jalan nyatanya masih kalah pada yang nyata. Nyata bertemu masyarakat, nyata menyapa masyarakat; tanpa kampanye, tapi tetap efektif meningkatkan elektabilitas. Pengakuan beberapa surveyor yang saya ajak bercakap-cakap, “masyarakat banyak menyarankan bahwa kandidat mesti datang bercakap-cakap disini”, sebab mereka kebanyakan hanya melihat, bukan mengenal, memang nyatanya elektabilitas didorong oleh keterkenalan.
Politik berbudaya barangkali lebih murah dan efektif. Karena ini yang nyata tadi. Nyatanya memang demikian dilapangan. Definisi politik berbudaya yaitu politik yang lebih dekat kepada masyarakat (substansial) yang merawat kearifan lokal. Sebab uang dari dulu sudah memberi jarak dalam lingkup sosial, kaya-miskin, tuan-budak, maka jarak yang telah diciptakan uang perlu dihilangkan. Dalam konteks pilkada Morut, politik berbudaya ini sangat dimungkinkan akan menjadi jalan paling efektif sebab bagi saya Morut ini adalah daerah yang dimana toleransi cukup kuat dan terjaga.
Di Morut, melalui perjamuan, cakap-cakap atau menyapa masyarakat kandidat akan lebih dikenal karena akan mendapat perhatian langsung dari masyarakat sehingga akan berdampak pada tingginya elektabilitas. Terutama menjaga tingkat toleransi yang cukup baik di Morut, kandidat malah akan disenangi oleh masyarakat itu dikarenakan daerah ini adalah daerah yang multikultur, beragam etnis, dan keberagamaan.
Politik berbudaya ini akan menjadikan masyarakat sebagai bagian dari keluarga kandidat, dan masyarakat akan menganggap kandidat sebagai keluarga. Saya yakin bahwa penerapan politik berbudaya ini justru lebih efektif dibandingkan pragmatisme politik dengan biaya yang mahal namun kurang efektif.
Merawat toleransi di Morut dapat menjadi energi baru untuk disukai oleh masyarakat karena yang pertama adalah melalui ide dan gagasan multikultural dan kearifan lokal lebih dapat menyentuh perhatian dan perasaan masyarakat secara kolektif. Yang kedua, karena akan lebih berpijak dan berkesuaian dengan alam, yakni geografi dan historiografi Morut.
Pada akhirnya, saya, bahkan kita semua memang perlu memikirkan kebaikan jangka panjang masyarakat kita melalui aspek politik dan mencari solusi atas segala permasalahan yang ditimbulkan oleh pragmatisme politik yang menyebabkan biaya politik menjadi mahal. Uang bila tidak diperuntukkan pada kegunaan yang semestinya hanya akan menjadikan kita sebagai pemilih yang tidak rasional, dan menciptakan jarak—kesenjangan yang memisahkan masyarakat satu dan yang lainnya, dan akan menjadi jurang yang cukup dalam pada kehidupan berbudaya kita. Kita mesti menyadari ini sejak dini, kalau tidak lantas kapan lagi?.