Oleh : Fadli Dason (Peneliti Profetik Institute)
Biaya politik yang mahal tentu menjadi pemicu politik transaksional karena dalam pertarungan politik tentu ada donatur. Elih Delilah dkk dalam Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada (INTEGRITAS: 2019) menyebutkan, secara umum pengusaha mendominasi sebagai donatur paslon dalam pemilihan.
Penyandang dana perorangan pengusaha/pebisnis selalu mendominasi sejak Pilkada 2015 (18 persen), Pilkada 2017 (26,6 persen) tulis Elih Delilah dkk. Adapun pada Pilkada 2018, dominasi pengusaha berasal dari keluarga sebesar 38,1 persen dan di luar keluarga sebesar 40,9 persen. Kontribusi besar donatur itu bukanlah tanpa kepentingan.
“Tidak ada yang namanya makan siang gratis,”
Demikian idiom yang sering terdengar di politik.
Ketika paslon terpilih maka donatur dari paslon tersebut akan meminta imbalan atau kepentingan. Sehingga, terjadilah transaksional politik. Permasalahan terbesarnya adalah apabila timbul desakan dari para donatur yang menekan agar kepentingannya segera dipenuhi, maka tidak jarang terjadi paslon yang terpilih ada yang memotong hak orang lain yang akan diberikan kepada donatur sehingga memicu korupsi. Bisa jadi definisi Socrates soal Demokrasi itu benar “Demokrasi ibarat kapal yang berisi orang-orang idiot”.
Kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri menyebutkan biaya politik untuk menjadi bupati atau wali kota rata-rata Rp30 miliar, sedangkan biaya menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Kasarnya, apabila para donatur menggelontorkan Rp30 miliar-Rp100 miliar kepada pejabat terpilih lantas mereka harus menggantikan biaya tersebut dalam waktu dekat, kemana mereka harus mencari Rp100 Miliar ?
Standar perpolitikan yang seperti ini memang tidak diperuntukkan atau tidak akan pernah memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak berduit meskipun punya gagasan-gagasan visioner dan cemerlang untuk memimpin. Mustahil lah harapan kita demokrasi akan membaik. Kita masyarakat hanya diperuntukkan sumbang-sumbang suara dengan jari telah dicelup tinta tanda “demokrasi” atau tanda kita telah menunaikan kewajiban sebagai masyarakat yang patuh dan taat. Biaya politik yang mahal memicu transaksional politik kemudian berujung pada korupsi tentu sangat merugikan negara. Kerugian negara tersebut akan menciptakan kesenjangan masyarakat maka, apabila biaya politik mahal ini menjadi kebiasaan jangka panjang maka akan sangat sulit masyarakat merasakan kesejahteraan.
Peneliti Senior Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde (KITLV) Leiden, Belanda, Ward Berenschot menilai bahwa biaya politik di Indonesia sangat mahal untuk mewujudkan demokrasi berkualitas sehingga perlu mengubah sistem pemilihannya. Demokrasi sebenarnya adalah harapan pilihan-pilihan rakyat untuk memilih pemimpin begitu terbuka sehingga seharusnya tak ada jarak antara penguasa yang dipilih dengan rakyat itu sendiri. Faktanya di Indonesia momentum kedekatan tersebut hanya didapatkan pada masa-masa kampanye, setelah itu rakyat diabaikan.
Seharusnya rakyat senang karena pilihan-pilihannya pada pilkada bukannya malah sengsara. Ini disebabkan karena nilai-nilai kesejahteraan Masyarakat itu di reduksi menjadi transaksional jual-beli suara, mahar politik atau uang perahu. Era kita tak berbeda dengan era otoritarianisme, bila penguasa dictator kediktatorannya melalui kebijakan dan kewenangan yang ia buat sekarang di jaman kita ada kediktatoran secara halus implisit merasuki system perpolitikan kita, dikarenakan karena kebiasaan memberlakukan biaya politik mahal.
Menurut Ward sudah saatnya pemerintah Indonesia mengubah sistem pemilihan umum yang bisa mengakomodasi seluruh sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten, tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak untuk berkontribusi. Biaya politik murah sangat memungkinkan mensejahterakan Masyarakat luas yang akan menghilangkan praktik transaksional politik.
Berbeda apabila biaya politik murah yang lebih membuka peluang kepada mereka yang mempunyai gagasan untuk mensejahterakan Masyarakat meskipun ada juga daerah yang sulit diukur nilai biaya politiknya seperti Morowali Utara tetapi terbukti bahwa kesejahteraan Masyarakat meningkat hingga menyentuh angka 72% selama kepemimpinan Delis-Djira. Begitupun di beberapa daerah, maka biaya politik murah perlu menjadi penekanan untuk tetap diijaga karena alasan kesejahteraan Masyarakat.
Kesejahteraan Masyarakat mampu menciptakan politik dalam pengertian sesungguhnya politik sebagaimana Aristoteles menyebut politik sebagai the good life. Bukan saja politik, kesejahteraan Masyarakat secara luas lebih terciptanya kerukunan dan menopang perekonomian menjadi lebih baik. Sebagian dari warga yang tidak bayar pajak itu dikarenakan oleh perilaku konsumerisme korupsi yang berkali-kali dilakukan oleh mereka, para elit kita yang menjabat. Kesejahteraan Masyarakat akan menciptakan eudaimonia. Menurut Socrates eudaimonia bukan hanya suatu keadaan kesenangan tetapi sebagai suatu kondisi keunggulan moral dan intelektual. Maka, apabila Masyarakat Sejahtera sudah pasti kualitas demokrasi menjadi lebih baik sedangkan demokrasi yang baik akan berpengaruh besar pada kedamaian hidup ummat dan praktik-praktik politik yang lebih bersih, terbuka dan transparan.
Politik murah perlu menjadi sebuah seruan ataupun desakan sebagai cara bahkan sebagai solusi dalam memperbaiki, membangun peradaban yang lebih unggul dan maju. Menghilangkan kesenjangan dengan politik murah menciptakan kesejahteraan Masyarakat. Biaya politik yang mahal sudah menjadi bayang-bayang kejahatan, yang merembes hingga kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan Masyarakat, kebiasaan jangka Panjang politik mahal ini membentuk pandangan masyarakat bahwa politik itu buruk dan justru menciptakan konsumerisme yang tidak produktif.