MAKASSAR,UPOS.ID -Hari pencoblosan pemilu sudah usai, walaupun saat ini hasil pemilu baik Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif (Pileg )dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih dalam masa rekapitulasi hingga 20 Maret 2024 sesuai jadwal tahapan yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) namun sudah banyak cerita terkait Pemilu terutama soal Pileg.
Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Makassar, Jumat 1 Maret 2024 melakukan aksi di depan Kantor KPU Sulsel dan Bawaslu Sulsel terkait pelaksanaan Pemilu.
Irwan Abbas dari Gerakan Aktivis Sulawesi Selatan (GASS) yang tergabung dalam aksi tersebut mengungkapkan pemilu kali ini adalah Pemilu paling brutal dibandibgkan pemilu terakhir 2019. Menurut aktivis asal Jeneponto ini, kebrutalan tersebut terutama dalam praktik politik uang yang terjadi terang-terangan dan massif baik di kota maupun di daerah. Bahkan lanjutnya pada kasus PSU Jeneponto baru-baru ini terdengar santer isu ada caleg yang berani membeli suara satu juta per kepala.
” Karena itu kami menuntut penyelenggara untuk menyikapi ini, kami meminta khususnya Bawaslu melakukan investigasi besar-besaran atas dugaan politik uang yang massif dilakukan peraih suara terbanyak di pileg dan berani mendiskualifikasi caleg-caleg yang terbukti melakukan praktik tersebut” ungkap Irwan tegas.
Andi Hendra Hidayat, salah satu caleg DPRD propinsi di dapil 4 Sulsel dari partai Golkar mengaku cukup dirugikan dengan para caleg-caleg yang memakai cara-cara pragmatis dengan praktik uang tersebut.
” Rasanya menjadi tidak ada artinya kegiatan sosialisasi, pendidikan politik hingga berusaha menawarkan dan meyakinkan masyarakat terkait program – progam dengan mereka yang bermain diujung dan menyiram ratusan juta tersebut,” cerita Andi Hendra.
Andi Hendra mengaku pemilih yang digarap berbulan-bulan tersebut banyak tergerus oleh gerakan serangan fajar bahkan di basis-basis pemilihnya.
“Saya dan tim capek-capek bertemu masyarakat baik di daerah dataran tinggi, pesisir pantai hingga ke pulau-pulau mematuhi aturan yang sudah ditetapkan tidak boleh memberikan bingkisan yang nilainya tidak lebih dari 75 ribu,” ujar Andi Hendra bernada kecewa.
Fenomena ini menjadi salah satu polemik baik di sosial media maupun pemberitaan terkait pemilu selain kegaduhan hasil penghitungan sementara secara online Sirekap.
Fenomena ini juga diamati Direktur Politik Profetik Institute, Asratillah menurutnya, pemilu 2024 adalah pemilu dengan praktik poilitik uang lebih banal dibanding pemilu 2019. Hal tersebut terlihat dari nominal uang yang digunakan untuk membeli suara, hingga jumlah caleg yang melakukannya.
” Kedua, sangat jelas terlihat, kultur politik yang terbangun di tingkat akar rumput sangat pragmatis. Artinya alasan mereka memilih sebagian besar ditentukan oleh besar tidaknya jumlah uang yang ditawarkan ke mereka. Rekam jejak caleg, kapasitas intelektual dan visi caleg tidak lagi menjadi hal penting bagi pemilih,” ungkap Asratillah.
Lebih lanjut juga Asratillah mengungkapkan, perlu mempertimbangkan mendesain ulang sistem pemilihan tahun 2029 mendatang. Sebabnya, karena sistem proporsional terbuka justru menjadi lahan subur bagi makin maraknya praktik politik uang.
“Sistem proporsional semi terbuka mungkin bisa dipertimbangkan, agar rekam jejak dan jenjang kekaderan seorang caleg di parpol bisa menjadi variabel penentu keterpilihan caleg,” kata Asratillah lagi.
Salah satu kader senior Golkar di Sulsel dan mantan legislator DPRD Sulsel, Armin Toputiri menjelaskan fenomena brutalnya pileg kali ini, bahwa itu fenomena yang sangat terkait dengan pemberlakuan demokrasi terbuka di sejumlah negara yang sedang berkembang, dengan sistem demokrasi yang sangat terbuka, memilih orang dan bukan memilih partai konsokuensinya terjadi pada transaksional personal suka sama suka antara pemilih dan yang dipilih (personality ID).
” Bukan tergoda memilih partai pada program-programnya (Party ID)… di indonesia, lebih memungkinkan terjadi Personality ID karena latar masyarakat kita ketat berlandas pada kekerabatan dan gotong royong, lebih lagi karena tingkat pendapatan masyarakat kita masih berada di bawah,” ujar Armin.
Senada dengan Asratillah bahwa sistem demokrasi yang diterapkan dalam pemilu kita perlu mengalami koreksi. Armin lebih jauh melihat bahwa penerapan model demokrasi variannya mestinya sesuai kondisi dimana hendak diterapkan di Indonesia.
” Menurutku pemberlakuannya tanpa analisis yg kuat, tapi cenderung parsial, malah dagang sapi,” tutup Armin.