BudayaOPINIProf Anshori Ilyas Pergi, Mendung Memayungi Kami

Prof Anshori Ilyas Pergi, Mendung Memayungi Kami

Oleh: Fajlurrahman Jurdi*

Pagi, 20 desember 2024, hujan belum jua berhenti. Suara seng di rumah menambah kemalasan untuk bergerak. Pagi beberapa hari ini memang hujan tak pernah berhenti. Ditambah lagi dengan musim libur mahasiswa sudah dimulai, meskipun dosen sedang diburu deadline, karena harus memasukkan nilai dan pengisian beban kerja, tetap saja cuaca dan suasana rumah tak mungkin membuat ku bergerak terlalu lincah. Malas menjadi pemicunya, dan tentu saja, bahan makanan yang mulai menipis seiring banjir yang menjadi langganan tahunan di kompleks kami.

Sambil menikmati suasana rumah  pagi itu, kebiasaan saya adalah membuka buku atau menonton potongan film action di salah satu aplikasi media sosial. Selain itu, menggoda Abang (anak saya) yang menonton video di youtobe atau aktivitas yang kurang produktif.

Setelah mandi pagi, mengusap badan dengan handuk, mematikan kran air, serta melihat lagi hujan diluar apakah masih rintik atau sudah berhenti, saya memegang ponsel. Beberapa percakapan group di WA masuk kadang tanpa jeda, dengan segala informasi dan postingan. Saya memang jarang sekali memeriksa group WA, kecuali kalau ada informasi pribadi yang masuk melalui chat.

“Ting..ting..”, demikian bunyi satu pesan masuk ke WA. Saya buka ponsel, membaca pesan dan sejenak saya terdiam. “ Innalillahi wainna ilaihi raaji’un, telah berpulang ke rahmatullah Bapak prof. Dr. Anshori Ilyas,….”. Antara percaya dan tidak, saya membalas pesan itu. “Ini gak salah ji kah?”, Tanya saya balik.

Saya bertanya demikian, karena kemarin, beliau masih di kampus, dan teman-teman di departemen HTN menyampaikan bahwa Prof Anshori mencari saya sudah dua hari. Saya  memang tidak ke kampus, karena akses keluar masuk kompleks perumahan tergenang banjir. Ini semacam kutukan Desember, sebab tiap Desember, banjir meluber dan menghalangi jalanan keluar masuk.

Badan saya bergetar hebat. Untuk mengecek kebenaran WA tersebut, saya buka group dosen Fakultas Hukum. Ternyata baru ada empat ucapan duka yang muncul. Selanjutnya secara bertubi-tubi ucapan itu mengalir bagai banjir. Prof Anshori telah tiada, pergi untuk selamanya.

Saya jelas tak bisa berpikir jernih. Butir air mata saya meluber tanpa kendali. Saya masuk ke dalam kamar, agar Abang  tidak menyaksikan kenapa saya menangis. Saya menagis keras, merengek seperti anak kecil yang diambil mainanya. Setelah sesak itu sejenak terhenti, saya keluar kamar, lalu membasuh wajah.

Saya menelpon beberapa teman, menyampaikan kabar duka, lalu menggulung kembali Memori tentang Prof Anshori sejak mulai menginjakkan kaki di Fakultas Hukum, sekitar dua puluh satu tahun yang lalu. waktu yang panjang, untuk mengenal seseorang, dekat dan menjadi partner diskusi, meminta nasihat, dan kadang suka mencari alasan, agar sejenak berbeda, lalu membuka tabir, betapa dalamnya pengetahuannya.

Prof Anshori, adalah semacam etalase buku tak terlihat, argumennya luas, cara pandangnya menarik, ilmunya runut, idenya selalu tak pernah sederhana. Memecahkan masalah. Dia adalah “berlian” yang tak pernah mau terlihat, tak tampak, selalu merendah dan bersembunyi.

Sebagai guru besar Hukum tata Negara, cara pandangnya makro. Ia mulai dengan metafora, lalu mencocokkannya dengan kasus. Seorang professor yang unik. Unik cara menjelaskannya, unik ilmunya dan tak pernah ada jalan buntu. Ia guru yang membuka jalan jika di depan ada hutan rimba, ia senior yang membimbing ketika semua jalan menjadi gelap, ia orang tua yang mengayomi dan menggenggam tangan saat kita hendak tersungkur.

Prof Anshori, lelaki yang usianya sudah senja, selalu gelisah dan tak pernah tenang jika ada mahasiswanya yang telat ujian. Ia mencari dan berusaha agar banyak orang cepat selesai kuliah. Tak pernah menyimpan dendam. Jika marah, ia hanya memberikan catatan dengan suaranya yang keras, lalu setelah itu, diberinya jalan keluar, dan tertawa bersama.

Sebagai anak yang di bimbing di  S1, yang menjati tim penguji di S2 dan baru saja di SK kan untuk menjadi promotor saya di S3, saya kenal secara intelektual dan secara personal. Secara intelektual,  ia adalah guru yang membentuk habitus intelektual saya, mengasuh pikiran dan ide, merumuskan argumentasi dan membuatkan skema. Kadang untuk satu masalah, ada tiga solusi yang bisa dipilih, tergantung sudut pandang dan cara kita mendekatinya.

Di tahun-tahun yang lampau, di awal-awal saya menjejali ide hukum tata Negara, saya menjadi anak asuhnya. Dialah yang merentangkan tangannya, membuka diri sepenuh hati, mengajarkan saya menapaki tangga pengetahuan yang tiada tara.  Dalam kapasitas itulah, saya menaikkan rasa percaya diri yang luar biasa, sebab ia dukung sepenuh hati, ditengah keterbatasan saya. Keterbatasan akses, bacaan dan tentu saja memahami luasnya samudra pengetahuan.

Diskusi antara saya dan Prof Anshori terekam dalam jejak intelektual saya saat ini. Jika ingin melihat cerminnya ilmu almarhum, maka salah satu yang bisa anda lihat adalah konstruksi berpikir saya saat ini. Itulah sebabnya, habitus kami adalah satu, cara pandang kami untuk semua hal hampir tak pernah berbeda, dan jika tidak bertemu dalam satu minggu, dia pasti mencari, karena kadang ada kasus yang mau di diskusikan. Dan departemen Hukum tata Negara menjadi rumah yang egaliter bagi tempat diskusi, karena Prof Anshori membiarkan anak-anak mahasiswa menjadi teman debatnya, teman berdiskusi dan teman untuk membangun diskursus.

Dahaganya akan ilmu dan diskusi, menandakan ia sang guru yang tak pernah berhenti belajar. Tugas rutin saya kadang adalah mengupdate putusan PTUN dan putusan MK tentang kasus-kasus mutakhir, yang akan dibawa menjadi bahan diskusi di kelas.

Setelah saya bisa sekolah lagi, ia sangat bahagia. “Saya harus jadi promotor-mu”, katanya tegas. Saya timpali dia dengan canda; “serius ki dulu Prof, mau ki jadi promotorku?”, Tanya saya. Meskipun memang di aplikasi judul disertasi, saya mengajukan namanya sebagai calon Promotor.

 “Jrul, minta tolong ke pak dekan, supaya saya promotor mu nah”, katanya. “Siap prof”, jawab saya.  Gayung bersambut, dua bulan lalu, tepatnya habis jumatan, saya ngobrol dalam perjalanan dari masjid bersama pak dekan, dan dengan hati-hati saya sampaikan; “ijin prof, bolehkah Prof Anshori menjadi promotor ku?”, Tanya saya. Pak dekan dengan wajah sumringah menjawab; “Cocok itu pak fajlur, nanti saya SK kan beliau”. Benar saja, saya diberikan kembali almarhum sebagai promotor. Saya berpikir, sempurna lah ilmu saya, karena sejak S1, saya tak pernah dipisahkan secara intelektual, tidak secara secara formal, tetapi juga dalam seluruh diskusi informal.

Lelaki bersajaha, yang hingga wafat tak bisa mengendarai mobil, selalu ceria dan hidupnya selalu sederhana. Ia pergi meninggalkan cerita yang luar biasa bagi siapa saja yang pernah bertemu dengannya. Ia pergi dengan seluruh rekam jejak kebaikan.

Lelaki yang petuahnya selalu bersandar pada ilmu pengetahuan. Yang pertanyaan-pertanayaan akademiknya sungguh menakjubkan. Analisisnya tajam, argumentasinya kuat, keberpihakannya pada rasionalitas yang tinggi, serta kepeduliannya yang tanpa pamrih. Lelaki yang jika memberi, tak pernah mengungkit, yang tangan kanannya memberi, tak pernah ditau oleh tangan kirinya.

Sebagai alumni pesantren Gontor, pemahaman agamanya ada pada kesehariannya. Lurus jalanya, lurus idenya, lurus sikapnya. Ia adalah orang tua bagi semua mahasiswa, guru bagi yang mau belajar, cahaya ilmu bagi yang gulita pemahamannya.

Prof, kami pasti akan merindukan mu, rindu canda mu yang renyah, kangen sikap kebapakanmu yang egaliter, dan bagi saya, sisi terpenting yang sulit terisi adalah analisismu yang tak biasa. We love you.

Makassar, 20 Desember 2024

)* Penulis adalah Dosen Departemen Hukum tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[tds_leads input_placeholder="Your email address" btn_horiz_align="content-horiz-center" pp_msg="SSd2ZSUyMHJlYWQlMjBhbmQlMjBhY2NlcHQlMjB0aGUlMjAlM0NhJTIwaHJlZiUzRCUyMiUyMyUyMiUzRVByaXZhY3klMjBQb2xpY3klM0MlMkZhJTNFLg==" pp_checkbox="yes" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLXRvcCI6IjMwIiwibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjMwIiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tdG9wIjoiMjAiLCJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMjAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" display="column" gap="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTAifQ==" f_msg_font_family="702" f_input_font_family="702" f_btn_font_family="702" f_pp_font_family="789" f_pp_font_size="eyJhbGwiOiIxNCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTIifQ==" f_btn_font_spacing="1" f_btn_font_weight="600" f_btn_font_size="eyJhbGwiOiIxNiIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxMyJ9" f_btn_font_transform="uppercase" btn_text="Subscribe Today" btn_bg="#000000" btn_padd="eyJhbGwiOiIxOCIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxNCJ9" input_padd="eyJhbGwiOiIxNSIsImxhbmRzY2FwZSI6IjEyIiwicG9ydHJhaXQiOiIxMCJ9" pp_check_color_a="#000000" f_pp_font_weight="500" pp_check_square="#000000" msg_composer="" pp_check_color="rgba(0,0,0,0.56)"]

Berita terkait

Berita Terbaru