Oleh: Sulaiman Gibrhan
Tetapi, tunggu dulu, di Kota Makassar. Ada sebuah pulau. Namanya pulau Lakkang, berpenduduk kurang lebih 1000 orang, dengan 300 KK pulau ini dianggap menjadi Anomali. Justeru, ditengah defenisi dan terminus yang berkelindang selama ini. Soal pulau memang jamak, hanya diasosiasikan ke-wilayah Spermonde. Maritim, kepulauan terluar, terpinggir nan-jauh dari hiruk-pikuk aktivitas perkotaan.
Pulau Lakkang ini dikenal dan disebut-sebut oleh warga kota Makassar sendiri sebagai sebuah pulau. Anomalinya disini. Sebab sebagian wilayahnya juga masuk kategori agraria, terdapat hamparan persawahan yang luas dan potensi tambak yang memanjang hingga ke wilayah selatan.
Sektor pertanian, tambak dan perkebunan menjadi lahan penghasilan utama masyarakat lokal. Terbilang eksotis, karena diapik oleh Jl.Perintis Kemerdekaan dan jalan Tol di kota Makassar. Masyarakat pulau Lakkang adalah masyarakat pesisir urban yang dipaksa bertahan di tengah gempuran industrialisasi dan pesatnya pembangunan kota yang makin kesini, kian tidak humanis.
Potensi di sektor pertanian. Terbilang tak sedikit, puluhan hingga ribuan ton beras per-tahun diproduksi dari pulau ini, cukup membantu ketersediaan pangan di Kota Daeng, wabilkhusus untuk warga Pulau Lakkang Kecamatan Tallo.
Masalahnya, untuk saat ini. Terdapat banyak sekali pemuda usia angkatan kerja atau usia produktif kerja. Tak mau bekerja disawah menjadi petani, atau petambak (Empang) dan memaksimalkan sektor perikanan kelautan yang ada.
Mereka justeru lebih tertarik atau lebih memilih menjadi pekerja buruh lepas, out-sourching di banyak pabrik pencakar langit. Pabrik industri besar yang menjulang tinggi di sepanjang Jl. Ir. Sutami, Tol Pelabuhan Soekarno-Hatta, hingga ke Kawasan Industri Makassar (KIMA).
Mempunyai luas sekitar 222 Hektar. Lakkang, lebih dari cukup. Telah memenuhi syarat, jika ingin dispesifikasikan atau dikategorikan sebagai miniatur-swasembada pangan dalam lansekap kecil. Tentu juga pulau ini, buka rahasia umum lagi. Pulau Lakkang dikenal sebagai penghasil ikan bandeng atau udang sitto.
Kampung unik ini memiliki etnografi wilayah dengan karakteristik masyarakatnya yang lebih mirip masyarakat pesisir, nun-jauh dari daerah kelahiran (Pangkajene dan Kepulauan)
Salah satu Politisi Senior. Rudiyanto Lallo yang juga Ketua DPRD Kota Makassar periode 2019-2024, alumni FH-UH, kelahiran pulau disini (Baca: Pulau Lakkang) secara percaya diri dan terang-terangan, membuat kelakar. Klaim isinya serius. Katanya di Pulau ini banyak yang berhasil naik haji berulang-ulang, gara-gara udang sitto.
Dikatakan, Bandeng yang berasal dari tambak di pulau ini, oleh Rudiyanto Lallo diklaim sebagai ikan Bandeng ternikmat atau tergurih di Kota Makassar. Konon cita rasa bandeng dari pulau ini tak kalah lezat dari Ikan Bandeng asal Kabupaten Siwa dan Pangkep.
Dari sisi historis, kehidupan sosio-politik, warga Pulau Lakkang juga punya sejarah panjang. Medio 1990, 1945, 1949 hingga munculnya gerombolan dan pasukan serikat perjuangan DII/TII.
Konon, dulu masyarakat pulau ini. Karena tuntutan situasi waktu itu. Belanda ingin kembali menguasai tanah Sulawesi. Maka, pernah warga Lakkang memilih berafiliasi, cenderung akomodatif dalam membangun hubungan politik dengan pasukan tentara Jepang.
Kala itu. Bentuk politik kompromi yang dijalankan masyarakat pribumi, pulau Lakkang dimasa pendudukan kembalinya tentara Belanda itu. Tak pelak, membuat para nenek moyang warga pribumii dari pulau ini. Tak memiliki jalan lain, selain memilih berdamai untuk sementara waktu, dengan tentara Jepang.
Kurang lebih mirip dengan strategi politik Raja Aru Palakka di Bone. Kehadiran Bunker dengan usia ratusan tahun di pulau tersembunyi itu, menjadi jejak sejarah yang bisa dilacak dari cerita politik akomodatif dan strategi kompromi ini.
Sejak kecil saya sering berkunjung ke pulau ini, apalagi di waktu-waktu libur sekolah tiba. Nenek Saya dari Bapak kuburannya juga berada d pulau ini, meninggal 2008 silam. Nenek saya banyak menghabiskan usianya di pulau ini sejak berpuluh-puluh tahun silam, mengajar mengaji turaddamh dan ikut ke saudara perempuan bapak.
Jika anda bermaksud mengunjungi pulau ini. Anda harus melalui sungai Tallo, caranya sedikit unit karena menggunakan perahu tempel, yah! untuk sampai ke Pulau Lakkang harus menyewa perahu, namanya Pappalimbang. Pak Ogah, orang Jawa menyebutnya demikian.
Bedanya, pak ogah (Pappalimbang) disini tentu tak gratis. Sebab tugasnya bukan bermodalkan sempritan, seperti pak ogah di jalan-jalan raya. Sepanjang Perintis-Kemerdekaan misalnya. Tetapi, Pappalimbang disini sebuah jasa Pak Ogah modern yang beroperasi di Sungai Tallo. Sebuah sungai yang membelah tengah-tengah kota Makassar.
Sebagai pulau yang diapit dan dikelilingi oleh Sungai Tallo, Sungai Pampang, Sungai UNHAS, maka untuk bisa sampai ke lokasi ini harus melalui dermaga Kera-Kera yang lokasi dermaga penyeberangannya berada tepat, di belakang Kampus Unhas Tamalanrea.
Jasa Pappalimbang lainnya juga tersedia atau bisa ditemui di empat titik berbeda, diantaranya di sekitar Tol Ir. Sutami, Pannampu, Tol Reformasi (Hino).
Ditengah gempuran dan himpitan gedung-gedung mewah menjulang tinggi yang mengelilingi Kampung ini dari empat penjuru mata angin.
Sorot mata saya setiap melalui perkampungan, dimana nenek, sepupu dan saudara bapak saya beranak-pinak ini, sinis pada perusahaan-perusahaan yang berdiri tegak, gagah, namun kelihatan tak humanis sama sekali.
“Oh Tuhan. Biarkan suara air, kicauan burung, indahnya panorama hutan mangrove, petak hamparan sawah, kebun dan tambak milik warga Lakkang bertahan hingga 1000 Tahun lagi, biarlah menjadi jantung swasembada dan paru-paru Kota yang sudah sesak ini.”