Penulis : Rahmat Mubarak
Dua malam lalu saya pergi ke pengajian memakai sarung, memakai jaket, memakai kopiah dan baru saja menyalakan rokok, ketika tuan di rumah itu menyuruh-nyuruh tamu mengisi kursi paling depan.
Tetangga saya baru saja meninggal untuk alasan yang bagi penduduk kampung, masih belum lengkap.
Di pengajian itulah, saya mendengar kalimat yang sering diulang-ulang, tapi justru secara sengaja pula sering dilupakan. Kalimat itu jarang dibicarakan orang, jarang diceritakan di khotbah-khotbah Jum’at, apalagi menjadi topik di warung-warung kopi. Hanya di acara takziah sajalah saya sering mendengarnya.
Kalimat-kalimat itu milik si Penceramah. Ia memberi petunjuk jika ada sanak yang sedang menghadapi maut. Konon, mendampingi sanak ketika menghadapi maut itu ada langkah-langkahnya.
Karena banyak langkahnya, dan, saya lupa, saya ambil yang paling membekas: ketika tangan sudah akan menutup mata si Mayit, bacakan Al Fajr ayat 27-28.
Terjemahan ayat itulah yang saya temukan lagi hari ini, ketika sudah membuka lembar khusus pada permulaan novel “Debu-Debu Qalbu” karya sastrawan terkenal tahun-tahun orde lama sampai orde baru, Motinggo Busye.
Novel yang mula-mula terbit 1980 oleh Kartini Group ini, bercerita tentang satu keluarga rukun yang rusak karena perselingkuhan. mereka bercerai setelah empat tahun secara sembunyi-sembunyi, Tom Jaelani menyimpan perempuan muda yang oleh Sarah kira-kira usianya masih 22.
Itu artinya, selingkuhan Tom itu, baru 18 tahun ketika mulai main serong dengan suaminya.
Sarah mendesak pisah saja; Tom tidak mau. tapi akhirnya Sarahlah yang menang. Mereka berdua bercerai sejak enam bulan rahasia itu terbongkar. Nyaris setiap malam mereka bertengkar. Sarah pulang ke rumah orang Tuanya.
Tapi setelahnya, Sarah tetaplah manusia biasa. Selama dua, tiga, empat sampai lima hari ia masih bisa menyembunyikan dukanya itu. Tapi tidak di hari-hari berikutnya. Sarah mangkir dari banyak panggilan iman.
Diam-diam, sejak keributan itu Sarah ternyata bekerja di Salon D’elite, sebuah gedung pelacuran berkedok salon sebagai perempuan pendendam yang berdikari. Tidak seperti tempat pelacuran pada umumnya, Salon D’Elite menyediakan Fasilitas luar bisa.
Kepada para pengguna jasa, si Bos menyediakan rumah khusus untuk para penyewa, dengan pelacur-pelacur khusus pula. Mereka sudah dilatih agar badan dan pikirannya bisa bekerja seperti seorang istri.
Semua fasilitas dimaksudkan agar pelanggan-pelanggan di sana, tidak membayangkan diri sedang dilayani pelacur, dan ternyata sedang berada di tempat pelacuran. Melainkan seperti rumah lain yang lebih memuaskan dari rumah mereka yang di rumah.
Disanalah janda Sarah berulang-ulang bertemu dengan John Makamoetoe, perantau jantan dari Ternate.
Meski begitu, Sarah tidak melacur. Ia bertugas mengatur lalu lintas per-pelacuran. Tapi, tutur yang lemah lembut dan suaranya yang bening, tak jarang justru ialah yang sering disasar. Tapi Sarah selalu menjaga kehormatannya.
Sementara itu, papa dan mamanya kecewa dengan perangainya Sarah: disuruh shalat tidak mau, diajak bicara serius selalu sinis, pulang selalu tengah malam, dan bangun pun kesiangan. Itu lain dari kebiasaan.
Sarah sadar, bahwa tanggung jawab seorang janda adalah dirinya sendiri. Sehingga ia bilang kepada mamanya dengan sedikit membentaknya: “mengapa mama repot soal diri saya? itu urusan saya dengan Tuhan!”
Orang tua Sarah juga sadar akan urusan tanggung jawab itu. Mereka mengakui, bahwa Sarah memang sudah bukan tanggung jawab mereka berdua. Meskipun, diam-diam pula kekecewaan tetap tidak bisa mereka hindari.
Itu mengingat, dulu Sarah adalah orang yang “khusyu’ dan begitu penyabar, begitu patuh dan lemah lembut.” Kini, sarah benar-benar berdikari. Dia tidak bergantung kepada orang tua, suami, bahkan diam-diam ia menyesali Tuhan.
Begitulah. Sarah bekerja di salon itu sekian lamanya, dan ternyata sudah menjalin kasih dengan John Makamoetoe tadi.
Tapi, alasan Sarah memilih John bukan karena dendam. Tapi justru ia memilih John karena seolah-olah mendapat pesan intuitif: cinta John bersih dan penuh. Maka buru-buru ia ingin meraupnya.
Saking cintanya, waktu Sarah mendesak John untuk kawin segera, John justru bilang: “…..Biarpun katamu kau begitu tenang berhadapan dengan Tom dan Suzanna, begitu sabar mensahkan perkawinan mereka, tetapi di dalam jiwamu berkobar dendam, sampai-sampai kaupun dendam kepada Tuhan. Jangan mengelak, Sarah. Sejak hari bercerai sampai berbulan-bulan kau tak bersujud kepada Tuhan, itu bukti dendammu kepada Tuhan. Padahal yang bodoh adalah kau. Jika kau sedikit sabar dan tawakkal pada waktu itu, justru Tom yang harus pisah dengan Suzanna. Kau yang jadi pemenang pertarungan segitiga itu, bukannya Suzanna. Kau ingin memperlihatkan harga diri wanita dan kebesaran jiwa manusia, yang sebenarnya ketololan belaka.”
Inilah. inilah yang bagi saya adalah poin tersurat yang hendak Motinggo Busye sampaikan dalam novel setebal 179 halaman ini. Sebab, sejauh buku-buku motinggo Busye yang saya baca, saya menangkap kesan, bahwa apa yang selalu hendak Motinggo Busye sampaikan adalah keributan Jiwa-jiwa manusia.
Tokoh-tokoh Motinggo Busye yang saya baca dari judul-judul novelnya seperti, “Perempuan-Perempuan Impian”, “Ketika Mimpi Berakhir”, dan yang terakhir adalah “Debu-Debu Kalbu” ini, menceritakan tokoh-tokoh dengan konflik personal: iman, sex, makan, dan kematian!
Seperti yang saya bilang tadi, novel ini di buka oleh ayat Al-Fajr di lembarnya yang pertama. Bunyinya: “yaa Ayyuhannafsul mutmainnah, irji’I ilaa rabbiki radhiyatam mardiyah”, wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya”
Sementara begitu, novel ini ditutup hampir bertahun-tahun setelah keributan-keributan itu: anaknya sudah 17 tahun, dan telah membuka rahasia akan penyesalan, penderitaan, pertaubatan, dan pusara ayahnya, Tom Jelani, jauh di Jogja.***