Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah
Upos.id, Di mana manusia menemukan dirinya, di situlah peradaban bermula. Perpustakaan, bagi banyak orang, adalah ruang yang sakral. Ia bukan sekadar bangunan penuh rak dan buku, tetapi sebuah dunia yang menggugah pikiran, menenangkan batin, dan memberi harapan.
Pemikir perempuan, Simone de Beauvoir (1908-1986), dengan tepat menyatakan bahwa manusia adalah proyek yang harus terus diciptakan. Dalam ruang perpustakan, penciptaan diri menjadi mungkin, karena di sanalah pengetahuan, kontemplasi, dan refleksi bersinergi.
Tetapi, bagaimana jika ruang ini kehilangan ruhnya? Bagaimana jika perpustakaan, alih-alih menjadi rumah bagi kemanusiaan, berubah menjadi arena gelap yang mencerminkan krisis moralitas?
Kasus pelecehan seksual di Perpustakaan Universitas Dipa Makassar adalah tragedi yang menggugah kita untuk bertanya, masihkah perpustakaan menjadi tempat di mana kita bisa menjadi manusia yang lebih baik? Atau ia telah kehilangan martabatnya, menjadi tempat di mana nilai-nilai yang kita agungkan runtuh begitu saja?
Perpustakaan dan Dinamika Kuasa
Perpustakaan, meski tampak sederhana, adalah ruang yang memuat lapisan-lapisan kuasa. Mulai dari aturan yang mengatur siapa boleh masuk, hingga tata letak fisiknya yang memengaruhi interaksi sosial di dalamnya. Feminis kontemporer, Sara Ahmed (1969), mengingatkan bahwa ruang bukanlah entitas netral. Ia dibentuk oleh siapa yang hadir, siapa yang absen, dan bagaimana hubungan kuasa bekerja di dalamnya.
Ketika perpustakaan kehilangan fungsi idealnya, ia berubah menjadi zona abu-abu, tempat di mana dominasi menggantikan kebijaksanaan. Pelecehan seksual yang terjadi di ruang ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi cerminan dari bagaimana kuasa disalahgunakan.
Dalam hal ini, Judith Butler (1956), menegaskan bahwa tubuh tidak pernah benar-benar “milik sendiri.” Ia selalu terkait dengan tubuh-tubuh lain dalam ruang sosial. Ketika perpustakaan gagal menjaga moralitas kolektif, ia tidak lagi menjadi rumah pikiran, tetapi menjadi “zona gelap,” tempat nilai-nilai luhur tergerus oleh kekuasaan yang menyimpang.
Krisis Nilai Kolektif
Di balik kasus pelecehan seksual ini, terselip pertanyaan yang lebih besar. Apakah ini pertanda bahwa kita, sebagai masyarakat, telah kehilangan nilai-nilai kolektif yang selama ini kita junjung tinggi? Hannah Arendt (1906-1975), berkata bahwa kekuasaan sejati tidak pernah bersifat individu, ia adalah hasil tindakan kolektif. Jika perpustakaan, sebagai simbol peradaban, dibiarkan menjadi tempat pelanggaran, maka itu adalah tanda lemahnya tanggung jawab bersama.
Ketika perpustakaan kehilangan jiwa, itu bukan hanya masalah fasilitas atau anggaran, melainkan bukti bahwa kita telah abai terhadap ruang-ruang yang menjadi fondasi peradaban. Simone Weil (1909-1943), pernah berkata bahwa akar dari segala kejahatan adalah kurangnya perhatian. Ketidakpedulian kita terhadap perpustakaan mencerminkan betapa jauhnya kita dari esensi kebersamaan, membangun ruang aman untuk berpikir, belajar, dan menjadi manusia.
Menghidupkan Kembali Jiwa Perpustakaan
Untuk mengembalikan martabat perpustakaan, langkah pertama adalah membangun kembali etika publik. Penyair sekaligus feminis Gloria Anzaldúa (1942-2004), mengingatkan kita bahwa tugas manusia adalah menjadi pelintas batas, menjembatani dunia-dunia yang berbeda.
Dalam konteks perpustakaan, ini berarti menciptakan ruang yang inklusif, di mana semua orang merasa dihargai. Pelatihan etika, diskusi komunitas, dan penguatan solidaritas adalah langkah penting untuk menghidupkan kembali perpustakaan sebagai rumah moralitas bersama.
Perpustakaan harus kembali menjadi ruang komunitas, tempat di mana hubungan antar-individu didasarkan pada rasa hormat dan kepedulian. Carol Gilligan (1936), dalam filsafat etika kepeduliannya, menekankan bahwa moralitas tidak bisa dipisahkan dari relasi. Dalam hal ini, pengawasan partisipatif dan keberanian untuk saling menjaga, sebagaimana diajarkan bell hooks, adalah langkah yang tidak bisa diabaikan.
Lebih jauh, perpustakaan harus kembali pada esensinya sebagai ruang pendidikan moral dan intelektual. Feminis awal, Mary Wollstonecraft (1759-1797), menyatakan bahwa pendidikan adalah kunci kebebasan sejati. Dengan menata ulang perpustakaan sebagai ruang diskusi, refleksi, dan pembentukan karakter, kita tidak hanya menyelamatkan gedung, tetapi juga ide besar tentang apa artinya menjadi manusia yang merdeka dan bermartabat.
Refleksi: Peradaban dan Perpustakaan
Kasus pelecehan seksual di Perpustakaan Universitas Dipa Makassar adalah cerminan dari kegagalan kolektif kita. Ketika perpustakaan, simbol peradaban, kehilangan ruhnya, itu berarti kita juga kehilangan sebagian dari nilai-nilai yang mendefinisikan kemanusiaan kita.
Mary Astell (1666-1731), dalam bukunya, A Serious Proposal to the Ladies (1694), bertanya, “Jika semua laki-laki dilahirkan bebas, mengapa perempuan harus lahir menjadi budak?” Dalam konteks ini, pelecehan seksual di perpustakaan adalah bentuk penghancuran kebebasan. Bukan hanya kebebasan individu korban, tetapi juga kebebasan intelektual dan moralitas ruang itu sendiri.
Perubahan dimulai dari langkah kecil, tetapi berdampak besar. Dengan menyelamatkan perpustakaan, kita menyelamatkan lebih dari sekadar ruang fisik. Kita menyelamatkan mimpi, harapan, dan nilai-nilai yang membuat kita tetap menjadi manusia yang bermartabat. Perpustakaan bukan sekadar bangunan, tetapi cerminan jiwa peradaban. Dan tugas kita, sebagai manusia, adalah memastikan bahwa jiwa itu tetap hidup.