OPINICerpenSi Lukman dan Kabar Burung dari langit

Si Lukman dan Kabar Burung dari langit

Oleh: Fahrul Dason (Ketua BEM FAI Universitas Muhammadiyah Makassar)

UPOS.ID Ratusan manusia berjalan bak zombie, berkumpul tanpa komando. Mereka seperti terhipnotis dengan retorika dahsyat dari sang professor. Intonasi-intonasi merangsek masuk ke gendang telinga, mendahului gemuruh terompet sangkakala. Manusia-manusia ini jatuh cinta pada pandangan pertama, seperti sepasang kekasih yang ditakdirkan memadu kasih, hanyut pada sekali pesona. Sang professor berdiri tegak di atas mimbar—tepat di pelataran balai akademik kampus. Kharismanya menyihir.

Tapi tidak bagi Lukman. Dentuman dalam momentum itu, hanyalah dongeng. Cerita yang dibangun untuk menyadarkan adanya kejayaan, kejayaan semu. Hanya ada dalam khayalan, sulit menyata dalam dunia yang penuh permintaan realis dan positivistik. Manusia-manusia dalam kerumunan, belum mengetahui bahkan belum mengenal Lukman sebagai manusia super. Lukman memiliki kemampuan mendengar setiap kebohongan. Hanya saja, dilakukan saat tertidur.

****

Di dalam ruangan tertutup terjadi percakapan antara kepala desa dan bendahara, “Berapa yang cair dari dana desa?” tanya kepala desa.

“Lumayanlah pak untuk hidup sepekan—“ jawab bendahara sambil tersenyum dihadapan kepala desa.

“kalau seperti itu berikan kepadaku, dan jangan sampai orang lain tahu. Anggap saja sebagai rahasia kita berdua.” Dengan gestur tubuh waspada, melirik kiri dan kanan—dana desa pun diberikan. Penjaga pos masuk ke balai desa melihat Lukman tertidur, dengan tongkatnya memukul kaki Lukman, kaget! Lukman terbangun.

****

Bagi semua orang kemampuan Lukman hanya halusinasi belaka, tapi baginya kemampuannya benar adanya. Ketika Lukman menceritakan kemampuannya ini hanya mendapat tawaan dan cibiran dari orang, “hah, bodoh mana ada seperti itu,” kata sebagian orang. Saking banyaknya kebohongan yang Lukman dengar—alhasil membuat Lukman tidak mampu mengenal semua kebohongan yang ada, sangat buram ingatannya ketika dia mulai terbangun dari lelap tidurnya.

Namun, akhir-akhir ini Lukman selalu dihantui oleh rasa penasaran, dan sulit baginya untuk dia pecahkan; kabar burung dari langit. Seolah mengajak dia bermain teka-teki, Lukman hanya perlu berfokus mengingatnya kembali. Sekiranya hanya ada satu cara supaya dia mengingatnya secara utuh, namun sangat berbahaya baginya. Untuk memecahkan lebih cepat misteri di balik kabar burung dari langit, Lukman harus mengorbankan kekuatannya. Ini tentu akan sangat merugikan baginya, kemampuannya dalam mendengar kebohongan—membuat Lukman kehilangan kekuatan dalam setahun—Lukman sebelumnya telah pernah melakukannya. Mudah saja caranya, hanya dengan meminum ‘jus pisang’ sebelum tidur, aneh bukan? Itulah sebabnya Lukman tidak pernah meminum—jus pisang—kecuali ingin mengetahui suatu misteri yang sangat mengganggu pikirannya.

Kesunyian malam tiba dan angin berhembus menggoyangkan horden-horden jendela kamar Lukman. Lukman melihat ke arah jam dinding, menunjukkan tepat pukul 22,50 menit, detik demi detik berjalan, kebingungan menyelimuti pikiran Lukman, rasa penasarannya terhadap ‘kabar burung dari langit’ membawanya pada keambiguan memilih sikap. Setelah dia menimbang-nimbang, dengan pikiran matang dan hati yang ikhlas—Lukman pun meminum ‘jus pisang’ yang dia siapkan sebelumnya.

Sekitar 20 menit Lukman duduk di kasurnya seraya menarik nafas panjang-panjang Lukman pun berbaring. mempersiapkan dirinya untuk tidur di kasur empuknya, rasa ngantuk Lukman mulai terasa akibat efek ‘jus buah pisang’ yang dia minum. Lukman menutup matanya dan ia mulai tertidur lelap, terasa memasuki portal-portal dunia lain dalam alam bawah sadar, kepulan-kepulan asap menghalangi pandangan Lukman. Sedikit samar-samar terlihat sosok kakek tua dengan perawakan tinggi, kurus, dan menggunakan jubah dengan mententeng-tenteng secarik kertas, yang nampak di balik kepulan asap.

Tanpa abah-abah terdengar suara kemarahan, “bodoh, anak naif, sudah memiliki kekuatan istimewa. Namun, tidak pernah memanfaatkannya—“

“apa yang kau maksud kek? Kau pikir enak? Setiap tertidur mendengar kebohongan tanpa bisa melakukan apa-apa?” ujar Lukman yang berdiri tepat depan kakek tua, sekitar satu meter jarak mereka berdua. Terlihat juga kekesalan dari Lukman. Kerap kali Lukman merasa sangat konyol dengan hidupnya, yang harus mendengar kebohongan-kebohongan yang terjadi, “jauh-jauh dari kampung hanya untuk meminum jus pisang untuk memecahkan masalah. Benar yang kau katakan kek, aku begitu naïf menjadi seorang manusia.”

“Demikianlah kau Lukman, kau sangat bodoh. Tidak perlu kekuatan khusus untuk melihat realitas sosial. Namun, kau sudah memiliki kelebihan, kau berpendidikan, tapi harus meminum ‘jus pisang’ terlebih dahulu untuk mengenal kebohongan—“

Kakek Tua itu mengangkat secarik kertas yang dipegang, mulai berbicara, “Bagaikan kabar burung yang tiba di telinga-telinga khalayak publik,” dengan suara yang sangat berat, “saya akan menceritakanmu satu pidato tertulis, termasyur dari seoarang sastrawan Indonesia,” Sahut Pak tua.
“Siapa dia?” Tanya Lukman.
“Dia manusia biasa, tidak memiliki kekuatan sepertimu, tapi kesadarannya lebih tinggi dari kau yang naif,” dengan nada mengejek pada Lukman.
“Terserah, apa yang kau katakan kek. lanjutkan!” kata Lukman dengan pasrah.

Kakek tua itu melanjutkan celotehannya “dia bernama Pramoedya Ananta Toer, orang-orang mengenalnya dengan panggilan Pram. Pada pidato tertulis Pram di Filipina. Tepatnya di Manila 31 Agustus 1995, ketika dia mendapatkan penghargaan Magsaysay. Pram menyampaikan ‘bahwa para pujangga istana mataram menciptakan mitos Nyai Roro Kidul untuk menutupi kekalahan Sultan Agung, raja pedalaman jawa, yang dalam operasi militernya terhadap Batavia-nya Belanda pada abad ke 17 telah mengalami kekalahan total. Akibatnya Mataram kehilangan kekuasaannya terhadap laut Jawa sebagai jalan perdagangan laut internasional. Para pujangga Mataram menciptakan mitos ini sebagai bentuk bahwa Mataram masih menguasai Laut, bahkan menciptakan mitos lain: bahwa setiap Raja Mataram beristrikan Sang Dewi tersebut. Lalu mitos lain: ditabukan berpakaian hijau di pantai laut selatan, ini untuk memutuskan asosiasi orang pada pakaian hijau komponi Belanda, dan tanpa disengaja oleh pujangganya sendiri Sang Dewi telah mengukuhkan kekuasaan para raja Mataram atas rakyatnya. Bahkan menjadi polisi batin rakyat Mataram.

Meringkik, rasanya sesak nafas, Lukman tidak kuat lagi sepertinya ada yang membangunkannya di alam nyata, dengan tiba-tiba portal muncul menghisap Lukman. sekejap dengan bayangan hitam seperti memasuki lubang sumur, matanya pun terbuka! Dia terbangun.

“Bangunlah nak! kau sudah tertidur seharian,” kata ibu Lukman yang membangunkannya.

Tanpa jawaban dari Lukman, pikirannya saat ini begitu cemas, dimana telah kehilangan kekuatannya selama setahun, tidak menemukan jawaban jelas pula dari kakek tua, Ibu Lukman keluar setelah terlihat Lukman telah bangun, satu yang Lukman ingat selain dari pidato tertulis Pram, ketika portal telah mulai membawanya ke dunia nyata, sebelum kepalanya masuk secara utuh, terdengar suara Kakek Tua, “mitos di perguruan tinggi” Kata-kata terakhir kakek tua setelah berpisah dengan Lukman dalam alam bawa sadarnya.

Lukman berdiri, diam merenung dan berfokus. Di benaknya berputar kata-kata terakhir kakek tua itu, Lukman berusaha untuk mengaitkannya dengan yang disebut oleh Pram tentang bagaimana para pujangga mataram yang membangun mitos sebagai cara politis atau membentuk sebuah simbolik, “lalu apa hubungan dengan ‘mitos di perguruan tinggi?’ sejak kapan lingkungan akademik terdapat sebuh mitos?”

Sangat mengganggu, Lukman pernah mengingat satu kutipan dari Margaret Mead yang tidak pernah dia lupakan sampai saat ini, yang membawanya pada refleksi perenungan, Margaret Mead menyampaikan bahwa “nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah.” Lukman awalnya melihat bahwa pendidikan itu bukan hanya bangunan-bangunan megah yang terdapat ruang-ruang kelas. “kata ibu dahulu bahwa pendidikan itu adalah aktivitas ide. Dimana orang-orang mempersoalkan kemapanan yang ada, sebab kemapanan akan terdapat bentuk eksploitasi di dalamnya.”

****

Seharian di rumah, Lukman keluar dari rumahnya untuk mencari angin sepoi-sepoi, ia memandang bintang, berharap kakek tua bisa datang kedunia nyata ini, “aku benar-benar nyata wahai Lukman!” suara kakek tua terdengar tanpa ada wujud yang Lukman lihat, “di mana kau?” kata Lukman.

“Hai Lukman, aku ada di atas mu tepat di kabel tiang listrik,” sahut si kakek.

Dengan heran, Lukman spontan berkata “kabar burung dari langit,” sedikit terkejut, Lukman mundur dua langkah secara perlahan menjauh dari kakek tua, “ternyata wujud aslimu adalah seekor burung gagak?” tanya Lukman begitu greget.

“Yah, bisa dibilang seperti itu, tapi jangan khawatir aku bukan monster, inilah wujud asli ku, yang kau lihat dalam mimpi mu itu adalah wujud yang kau ciptakan sendiri. Karena, tentunya kau tidak pernah membayangkan sama sekali jika seekor burung gagak mampu berbicara. Sebut saja aku Gagak si hitam pekat,” ungkapnya.

Angin berhembus sejuk, tapi Lukman tetap tegang dan merasa gerah, dia pun bertanya kembali pada Gagak, “apa yang kau maksud dengan Mitos di Perguruan tinggi?”

“Sudah dua tahun kau berkuliah di sana, sama sekali tidak mengetahui sebuah mitos di sekitarmu, untuk apa selama ini kau belajar? Kau tahu bahwa ‘akreditasi unggul di perguruan tinggi’ sebenarnya adalah mitos yang dibangun layaknya seperti para pujangga-pujangga mataram membuat mitos Nyai Roro Kidul,” Jawabnya. Sedikit berbunyi, siul-siul keluar dari mulut si Gagak, “bagaimana kau memaknai akreditasi unggul?” kata Gagak si hitam pekat.

Sempat terdiam sejenak, berusaha mengingat kembali, mengurainya pelan-pelan, Lukman membandingkan ‘akreditasi unggul’ dengan realitas, “Adanya paradoks antara ‘akreditasi unggul’ dan kenyataan di lapangan. Bagiku, berjalan di pelapang kampus, seperti berjalan di atas tanah gersang yang tandus, itu karena hampir tidak pernah saya temukan mahasiswa mempersoalkan kemapanan yang ada, ‘kata ibu, bukan lagi pendidikan,” “Tidak hanya itu Lukman, kau belum melihat akarnya, yang diperiksa oleh observer ‘akreditasi unggul perguruan tinggi’ bukan berapa banyak buku-buku novel, sejarah, kebudayaan dan filsafat atau pustaka, apa lagi yang kau sebutkan orang tidak lagi mempersoalkan kemapanan, bagaimana itu dilakukan, jika kampus hanya berfungsi seperti pabrik-pabrik?” sahut si Gagak.

“Yah, apa yang kau sampaikan benar adanya, tapi bagaimana kau bisa mengetahui semua ini,” kata Lukman.

“Pertanyaan apa kau ini Lukman?” dengan terheran-heran melihat Lukman, “aku membaca, sebabnya aku mengetahui,” sembari tertawa melihat tingkah lucu Lukman.

“hahaha, kalau begitu kau bisa melanjutkan lagi“ kata Lukman dengan tersipu malu.

“Hari ini ‘akreditasi unggul’ hanya sebagai satu term yang sangat sulit untuk ditafsirkan. Untuk mengurai semua ini, kau hanya perlu membandingkannya dengan pelbagai realitas yang terjadi sebagai upaya meninjaunya kembali, bisa saja kau berangkat dengan melihat sarana dan prasarana, mutu pembelajaran, keterbukaan informasi, relevansi matakuliah dan profesionalitas pengajar, perkembangan alumni dan mahasiswa itu sendiri, jika kemudian semua ini diklaim dengan baik oleh para observasi akreditasi perguruan tinggi, artinya ada pekerjaan politik praktis dan kapitalisasi perguruan tinggi di dalamnya. Tidak hanya itu, klaim-klaim ini tiba sebagai satu mitos atau kita kenal sebagai cerita-cerita rakyat, dan dongeng-dongeng dalam hal ini di perguruan tinggi,” dengan mengepakkan sayapnya yang mengkilap, indah dan sangat menawan. “hahahah” Si Gagak terlihat tertawa kencang.

Detik demi detik, waktu terus berjalan, Lukman berpikir bagaimana cara untuk mengubah dan mengingatkan para punggawa-punggawa universitas, “bagaimana dia membangun mitos?” terbatah-batah, jantungnya berdeguk kencang, tidak pernah Lukman membayangkan berbicara dengan seekor burung Gagak. Tapi tentu orang lain juga tidak akan pernah menyangka kalau ternyata si Lukman memiliki keahlian alamiah yang dia dapatkan.

“Pertanyaan mu bagus Lukman, sederhana saja caranya, kekuasaan simbolik lah yang bekerja, mula-mula kampus sebelum mendapat akreditasi unggulnya, terlebih dahulu membangun citranya di media sosial, saat itu bentuk kritikan akan dikurangi terjadi dari dalam kampus, mulai dari Fakultas sampai Prodi-prodi semua bekerja secara kompak, mungkin setiap mahasiswa tidak merasakan itu semua,” Jawabnya.

“Lalu, cara untuk membangun kuasa simbolik?” Lukman kembali bertanya pada si Gagak.

“Kita bisa meminjam pemikiran Pierre Bourdieu, untuk membangun kuasa simbolik,” kata si Gagak, baru saja ingin dia lanjutkan penjelasannya, Lukman bertanya:
“Kau tidak bisa menjelaskan secara perlahan kah?” tegas Lukman.

“Baiklah anak muda, sederhananya kuasa simbolik ‘ialah kuasa yang tak nampak, ini dilakukan sebagai upaya politis dan ekonomi dalam mengusai sekitar kita,’ mula-mula untuk membangun kuasa simbolik, perlu untuk membangun habitus terlebih dahulu, dalam hal ini berkaitan—akreditasi unggul, caranya mudah saja, dengan membahasnya setiap hari sampai kemudian bergulir dari telinga ke telinga penjuru kampus. Seperti yang dilakukan pujangga-pujangga mataram,” Sebut si Gagak.

“Ohiya. Yah, pantas saja, setiap pidato-pidato yang disampaikan oleh para professor atau punggawa-punggawa kampus cenderung hanya mendoktrin audiensnya, seperti yang aku saksikan di depan balai akademik kampus, ketika seorang profesor memberikan pidatonya, dan seluruh mahasiswa terpukau seraya memujanya. Tapi kenapa itu semua terjadi?” Tanya Lukman.

“Yah, itu semua terjadi karena kalian telah kalah telat, telat dari gelar yang disemakkan di belakang namanya, kecenderungan mahasiswa hari ini, semakin titel nama itu panjang. Maka, kepercayaannya juga semakin meningkat, walaupun kemudian dieksploitasi secara perlahan-lahan. Sebab karena itu, dalam membangun kuasa simbolik—diperlukan juga modal sosial—status publik, Jangan hanya menganggut Lukman, berkomentarlah—“ tegas si Gagak dengan kepala yang menggeleng.

“Lalu bagaimana menangkis itu semua?” Tanyanya lagi.

“Tidak ada cara lain untuk keluar, kecuali dengan gerak sadar membangun kekuasaan simbolik pula, kau paham Lukman?” Tegas si Gagak kepada Lukman.

“Itu artinya selama ini ‘unggul’ adalah sebuah kepalsuan? Kemunafikan berjamaah? Lalu konsekuensi dari mitos ini akan melahirkan ketakutan mahasiswa dalam mengkritisi kebijakan kampus, bahkan menjadi polisi batin juga bagi mahasiswa seperti yang ada dalam pidato tertulis Pram?” sahut Lukman sambil menatap Si Gagak yang hitam pekat memukau ini.

“Kau benar Lukman, seperti yang Ibu mu katakan, ‘dan tidak akan pernah melahirkan pendidikan di dalamnya’ semuanya yang kau saksikan tanpa kesadaran hanya kepalsuan-kepalsuan yang dianggap sebagai kebenaran.” terlihat si Gagak menggeleng kepalanya.

Lukman menggumam “hmmm.”

Tertawa lagi, si Gagak mulai melompat-lompat, “senang bisa berbicara pada mu Lukman, sepertinya ini pertemuan terakhir kita, inilah ‘kabar burung dari langit’ terakhir yang ku sampaikan jika melihat kembali peran guru besar, saya teringat dalam The Latin American University, Josep Maier dan Richard W. Weatherhead menulis dalam pengantarnya, menyatakan dengan jelas dan singkat, bahwa profesor bukan sepenuhnya makhluk akademis: mereka cuma mempertahankan pos-pos penggal paru waktu di universitas sambil bekerja profesional di luar sana. Mahasiswa akan selalu memuja atau menghormati mereka, bukan karena kuliahnya yang brilian. Tetapi, semangatnya berpidato dalam mendoktrin dan memotivasi pendengarnya. Nampak jelaskan, Lukman?”

“Betul juga yah,” Lukman dengan ekspresi muka yang datar.

“Yah. Semua telah diluluh-lantahkan dengan keulungan orasi-orasi masa lalu, bercerita ketika dia mendapatkan gelarnya, tanpa sama sekali membahas ide besar untuk membangun sumber daya manusia. Ingat Lukman! aku ini hanya seekor gagak, tidak punya kemampuan kecerdasan sama sekali—selain dari kutukan yang kudapatkan, ketika dahulu aku melawan seorang Raja, dan si Raja memanggil penyihir untuk mengubahku menjadi gagak hitam, hanya dengan membaca buku-buku, aku bisa hidup sampai saat ini—justru bahkan lebih bebas lagi, untuk melawan semua itu, kau hanya perlu menulis dengan indah Lukman, seperti yang dilakukan oleh Pram. Mungkin kita akan berpisah di sini. Tetapi, aku akan hadir di setiap irama pena dan garis-garis tinta hitam yang kau buat.” Menutup pembicaraannya, si Gagak terbang menuju ke langit dengan gembira, senang, dan tertawa seperti sedang menari riang gembira. Karena ia, telah menyampaikan “kabar burung dari langit.”

Lukman tersenyum gembira, bisa mendengar “kabar burung dari langit.” Setelah si Gagak menghilang, Lukman kembali ke rumahnya dan mengambil secarik kertas, dengan menulis semua yang dia ingat dari perkataan si Gagak, malam bergulir terus-menerus, tak terasa fajar mulai terbit, ayam berkokok. Tulisan Lukman pun akhirnya telah selesai, yang bertajuk “kabar burung dari langit: Mitos di perguruan tinggi” Sepenggal tulisannya:

“Kepalsuan telah dibangun oleh kampus, antara imitisasi dan keotentikan, kekaburan perguruan tinggi, kelam dan gersang menandakan kehidupan telah mati, kabar mitos turun dari atas, mahasiswa yang digenjot cepat untuk menyelesaikan akademiknya secara membrutal oleh kampus, tanpa mutu pendidikan yang baik. Sama saja seperti genosida besar-besaran terhadap manusia dan peradaban. Setiap aktivitas akademik yang dilakukan dengan bahasa kekuasaan yang dibangun oleh kampus hari ini harus disertai dengan gerak kritis mahasiswa, sikap keraguan dan ketidakpercayaan bagian dari awal menopang bahasa kekuasaan.”

Setelah menulis, Lukman menuju ke kasurnya, berbaring, merenung sejenak dan mulai tertidur, suara keras memukul telingannya, Lukman terbangun dan penglihatannya gelap dengan daun-daun hijau di sekitarnya, Lukman terheran-heran, ia berada di dahan-dahan pohon, tubuhnya berubah menjadi seekor burung, “ada apa ini?” rautnya gelisah—bertanya-tanya, tiba-tiba! dengan cahaya melintas di depannya, tak ada makhluk yang terlihat, kecuali secarik kertas muncul setelah cahaya itu menghilang.

Lukman mangambil kertas menggunakan patuknya, isi kertas itu berbunyi; “kini kau menjadi seekor burung gagak. Tugasmu hanya perlu mengabarkan pesan dari langit kepada orang.”

Sampai saat ini Lukman belum mengerti betul apa yang terjadi pada dirinya, tidak ada petunjuk sama sekali, Lukman mengepak sayapnya dan mulai terbang menuju langit entah kemana.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[tds_leads input_placeholder="Your email address" btn_horiz_align="content-horiz-center" pp_msg="SSd2ZSUyMHJlYWQlMjBhbmQlMjBhY2NlcHQlMjB0aGUlMjAlM0NhJTIwaHJlZiUzRCUyMiUyMyUyMiUzRVByaXZhY3klMjBQb2xpY3klM0MlMkZhJTNFLg==" pp_checkbox="yes" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLXRvcCI6IjMwIiwibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjMwIiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tdG9wIjoiMjAiLCJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMjAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" display="column" gap="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTAifQ==" f_msg_font_family="702" f_input_font_family="702" f_btn_font_family="702" f_pp_font_family="789" f_pp_font_size="eyJhbGwiOiIxNCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTIifQ==" f_btn_font_spacing="1" f_btn_font_weight="600" f_btn_font_size="eyJhbGwiOiIxNiIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxMyJ9" f_btn_font_transform="uppercase" btn_text="Subscribe Today" btn_bg="#000000" btn_padd="eyJhbGwiOiIxOCIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxNCJ9" input_padd="eyJhbGwiOiIxNSIsImxhbmRzY2FwZSI6IjEyIiwicG9ydHJhaXQiOiIxMCJ9" pp_check_color_a="#000000" f_pp_font_weight="500" pp_check_square="#000000" msg_composer="" pp_check_color="rgba(0,0,0,0.56)"]

Berita terkait

Berita Terbaru