KULINERSindikat Uang Palsu di Perpustakaan: Sebuah Kealpaan Kolektif

Sindikat Uang Palsu di Perpustakaan: Sebuah Kealpaan Kolektif

Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah (Pembina Komunitas Literasi Perempuan)

Upos.id, Perpustakaan kampus, dalam gambaran idealnya, adalah ruang yang seharusnya diisi dengan harapan dan semangat intelektual. Tempat bagi para pencari ilmu dan pemikir kritis untuk mengasah daya nalar mereka, menjadi wadah bagi pembentukan gagasan-gagasan besar.

Tetapi kenyataan yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Di balik sunyinya rak buku dan sepinya suasana, ada celah yang dimanfaatkan oleh sindikat uang palsu untuk beroperasi. Ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan kegagalan kolektif kita dalam menjaga dan memperlakukan ruang yang seharusnya menjadi pusat peradaban ini.

Sindikat uang palsu, seperti orang-orang cerdas lainnya, tahu betul bahwa perpustakaan adalah ruang yang terlupakan. Di balik ketenangannya, perpustakaan tampak seolah-olah tak terjamah oleh dunia luar. Suasana yang cenderung sepi dan jauh dari keramaian menjadikannya tempat yang “aman” untuk melakukan transaksi ilegal, jauh dari sorotan mata yang mengawasi.

Kita, sebagai bagian dari komunitas kampus, harus mengakui bahwa kita sendiri yang telah membuat ruang ini kehilangan makna. Di tengah dunia yang semakin tergantung pada digitalisasi dan hiburan instan, kita telah mengabaikan pentingnya perpustakaan sebagai pusat pengetahuan.

Perpustakaan seharusnya menjadi tempat pertama yang kita datangi, bukan hanya untuk meminjam buku, tetapi untuk mencari inspirasi, berpikir kritis, atau bahkan berdiskusi tentang isu-isu penting. Jorge Luis Borges, dalam bukunya The Library of Babel (1941) mengatakan, “Perpustakaan adalah rumah dari segala kemungkinan.”

Tetapi kenyataannya, kita malah lebih memilih kafe, ruang-ruang diskusi yang lebih ‘kekinian’, atau bahkan media sosial. Di tengah lautan informasi yang begitu mudah diakses, kita lupa bahwa perpustakaan adalah tempat yang mengajarkan kita tentang kesabaran dalam memahami dan menggali makna.

Rumi, dalam salah satu karyanya yang bijak mengatakan, “Di dalam hati yang tenang, kita dapat mendengar suara yang lebih dalam.” Kita lebih cenderung mencari kenyamanan instan ketimbang mendalami inti pengetahuan itu sendiri. Inilah kesalahan besar kita. Selama ini, kita membiarkan perpustakaan kehilangan daya tariknya, dan karena itu, membuka pintu bagi pihak-pihak yang memanfaatkan ketidakpedulian kita.

Memang, kita hidup di zaman di mana segala sesuatu dapat diakses dengan cepat dan mudah. Tetapi, jika kita hanya mengandalkan kecepatan dan kemudahan tersebut, kita akan kehilangan kedalaman yang seharusnya kita dapatkan dari sebuah proses pembelajaran. Perpustakaan bukan hanya soal koleksi buku atau fasilitas internet, tetapi tentang ruang yang mengajak kita untuk berpikir, merefleksikan, dan mendalami.

“Perpustakaan adalah alat untuk menjelajahi dunia,” kata Victor Hugo, dalam Les Miserables (1862). Ketika kita menelantarkan ruang ini, kita tidak hanya membiarkannya kosong, tetapi juga menghancurkan potensi besar yang ada di dalamnya. Sejalan yang diungkapkan Lao Tzu, “Kebijaksanaan dimulai dengan ketenangan.” Perpustakaan adalah tempat yang mengundang kita untuk merenung dan menemukan kedamaian batin yang memungkinkan kita untuk berkembang.

Perpustakaan yang kita anggap sepi dan “tidak menarik” adalah tempat yang sebenarnya paling rawan untuk dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Sindikat uang palsu menyadari betul bahwa di tempat yang minim pengawasan dan interaksi sosial, mereka bisa beroperasi dengan leluasa.

Mereka memanfaatkan kelalaian kita, di mana kita lebih banyak menghabiskan waktu di ruang-ruang yang lebih ‘hidup’ dan lebih nyaman. Tidak ada lagi semangat untuk kembali ke perpustakaan, untuk belajar, untuk bertanya, untuk berkembang. Akibatnya, perpustakaan menjadi ruang kosong yang siap diisi dengan berbagai hal yang tidak diinginkan.

Lebih dari itu, ini adalah cerminan dari perubahan besar dalam cara kita memandang pendidikan. Kita cenderung menganggap pendidikan hanya sebagai jalan cepat menuju kesuksesan duniawi, bukan sebagai proses panjang untuk membentuk karakter, memperluas wawasan, dan menumbuhkan integritas. “Pendidikan adalah kunci untuk membuka dunia,” kata Oprah Winfrey, dalam banyak ceramah pendidikan yang disampaikannya.

Pendidikan yang sejati bukanlah tentang menjadi yang tercepat atau yang paling canggih. Tetapi tentang menjadi pribadi yang bijak, yang berpikir mendalam dan mempertimbangkan segala hal dengan penuh kehati-hatian. Melalui The Prophet (1923) oleh Kahlil Gibran, ia mengatakan, “Ilmu adalah cahaya yang memandumu dari kegelapan.” Mesti diakui, kita telah jauh melupakan itu semua.

Ketika kita mulai melupakan fungsi sebenarnya dari perpustakaan, kita membuka peluang bagi berbagai bentuk penyalahgunaan. Perpustakaan, yang seharusnya menjadi benteng bagi pendidikan dan intelektualitas, justru menjadi tempat yang memungkinkan aktivitas ilegal berkembang tanpa gangguan. Ini adalah hasil dari kelalaian kita sebagai komunitas akademik. Kita telah menganggap remeh ruang ini. Pada akhirnya, ruang itu pun membalas ketidakpedulian kita dengan cara yang tidak terduga.

Sekarang saatnya untuk memulai perubahan. Bukan hanya tentang memperbaiki fasilitas atau menambah koleksi buku, tetapi lebih dari itu, kita perlu kembali menghargai perpustakaan sebagai ruang intelektual yang mendalam. Kita harus menyadari bahwa pendidikan sejati bukan tentang apa yang kita peroleh dengan cepat, tetapi apa yang kita bangun dengan perlahan dan dengan penuh kesadaran.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Albert Einstein, “Perpustakaan adalah pusat kebebasan intelektual.” Ketika kita ingin menghindari eksploitasi ruang-ruang yang kita abaikan, kita harus terlebih dahulu menghidupkan kembali semangat membaca, berpikir, dan berdiskusi di dalamnya.

Ketika kita membiarkan perpustakaan terus menjadi ruang yang terlupakan, maka kita tidak hanya menghancurkan ruang itu, tetapi juga masa depan kita sebagai masyarakat yang beradab. Saatnya kita meresapi kembali peran perpustakaan, bukan hanya sebagai tempat fisik untuk menumpuk buku, tetapi sebagai simbol dari kecerdasan dan integritas kita bersama. “Perpustakaan adalah cerminan dari masyarakat,” kata Carl Sagan, dalam berbagai karya dan wawancaranya.

Kita harus kembali menghidupkan perpustakaan, menjadikannya pusat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Lebih penting lagi, ruang untuk mengasah moralitas kita. “Jadilah perubahan yang ingin kamu lihat di dunia,” kata Mahatma Gandhi dalam The Story of My Experiments with Truth (1927). Jika itu kita lakukan, kita tidak hanya akan melindungi perpustakaan dari sindikat uang palsu, tetapi juga mengembalikan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan itu sendiri.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

[tds_leads input_placeholder="Your email address" btn_horiz_align="content-horiz-center" pp_msg="SSd2ZSUyMHJlYWQlMjBhbmQlMjBhY2NlcHQlMjB0aGUlMjAlM0NhJTIwaHJlZiUzRCUyMiUyMyUyMiUzRVByaXZhY3klMjBQb2xpY3klM0MlMkZhJTNFLg==" pp_checkbox="yes" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLXRvcCI6IjMwIiwibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjMwIiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tdG9wIjoiMjAiLCJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMjAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" display="column" gap="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTAifQ==" f_msg_font_family="702" f_input_font_family="702" f_btn_font_family="702" f_pp_font_family="789" f_pp_font_size="eyJhbGwiOiIxNCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTIifQ==" f_btn_font_spacing="1" f_btn_font_weight="600" f_btn_font_size="eyJhbGwiOiIxNiIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxMyJ9" f_btn_font_transform="uppercase" btn_text="Subscribe Today" btn_bg="#000000" btn_padd="eyJhbGwiOiIxOCIsImxhbmRzY2FwZSI6IjE0IiwicG9ydHJhaXQiOiIxNCJ9" input_padd="eyJhbGwiOiIxNSIsImxhbmRzY2FwZSI6IjEyIiwicG9ydHJhaXQiOiIxMCJ9" pp_check_color_a="#000000" f_pp_font_weight="500" pp_check_square="#000000" msg_composer="" pp_check_color="rgba(0,0,0,0.56)"]

Berita terkait

Berita Terbaru