Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Laki-laki itu tubuhnya tinggi, jalannya tegak, rambutnya agak keriting, matanya tajam. Ia berkulit cokelat, punyA gaya khas sendiri. Saat tertawa, meskipun kita gak melihat wajahnya, maka tak lain, ia pasti sang Dosen. Tasrifin Tahara namanya, teman diskusi, ngopi dan termasuk intelektual yang asyik membangun diskusrus di warung kopi.
Tasrifin, adalah lelaki kelahiran Buton, yang usianya memasuki limah puluh tahun, adalah salah satu intelektual penting dalam ilmu Antropologi. Salah satu jenis ilmu yang ia tekuni, adalah antropologi kekuasaan. Tak banyak di Indonesia, ilmuwan yang fokus pada antropologi kekuasaan.
Sebagai orang yang belajar tentang manusia dan kebudayaan, juga tentang apa yang terjadi di masa lalu, kini dan masa depan, Tasrifin menjadi manusia paripurna, dengan segenap beban intelektual yang diembannya. Dalam skema yang luas, ia adalah salah satu darah kesultanan Buton yang keluar dari istana, lalu merambah ilmu pengetahuan. Kelebihannya, ia mendedah ilmu tentang kekuasaan yang berkaitan dengan historisitas manusia. Tak pelak lagi, ini mengukuhkan dirinya, sebagai ilmuwan yang memiliki latar belakang sejarah budaya yang personal dan komunal.
Suatu waktu, saat menyeruput Kopi di sebuah meja Warkop di bilangan Perintis Kemerdekaan, ia datang dengan dua beban sekaligus. Baru saja keluar surat keputusan menteri yang menetapkan dirinya sebagai professor antropologi, sekaligus ia ditunjuk sebagai atase pendidikan di Dili. Ini dua beban sekaligus. Puncak akademiknya ia selesai, jabatan tertinggi yang diburu orang di kampus, professor. Tetapi juga diberi tugas tambahan, mewakili Indonesia sebagai atase di Dili.
Profesor tentu banyak macam. Ada professor yang diburu dengan segala macam cara tanpa menempa ilmunya. Profesor hanya sekedar jabatan, tanpa karya, apalagi prestasi akademik. Ada banyak di kampus-kampus di Indonesia, professor yang berjejal gelarnya, hanya untuk menaiKkan gaji, meningkatkan reputasi, tanpa karya langsung yang bersentuhan dengan masyarakat. Tak sedikit diantaranya, mereka memburu gelar itu agar keren, dan tentu tunjangannya besar. Dengan profesor, cuan lebih banyak diperoleh, sehingga perburuan orang dengan jabatan itu menjadi salah kaprah.
Karena saking bermartabatnya, jabatan professor diburu pula oleh para politisi dari segenap penjuru. Mereka memburu itu, agar keren, dipanggil sebagai professor. Tetapi Tasrifin bukan bagian dari itu. Ia adalah intelektual, yang titik pijaknya adalah riset dan ide. Tasrifin merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang memiliki rekam jejak intelektual yang baik, sehingga jabatan professor baginya adalah prestasi akademik.
Hari ini, 18 Februari 2025, ia mengambil jalan penting, pidato pengukuhan professor. Pidato ini sebagai upacara simbolis, bahwa ia telah resmi menjadi Profesor. Lebih tepatnya, profesor antorpologi kekuasaan. Ilmu yang tak banyak dijumpai, dan tentu saja, tidak terlalu banyak peminatnya. Karena itu, ia menjadi langka. Tasrifin akhirnya menjadi ilmuwan yang langka, karena kadang, ilmu antropologi tidak menghasilkan cuan, tetapi murni perjuangan akademik, riset dan publikasi.
Bagi saya Tasrifin memanggul jabatan itu sebagai sebuah peran intelektual, sebab pada akhirnya, menjadi professor bukan segalanya. Professor adalah awal mula orang menjadi manusia akademik yang utuh. Disana tidak saja kecerdasan dan prestasi akademik, tetapi ia harus menjadi “maha manusia”, manusia setengah malaikat, yang meretas bersama manusia, melebur bersama kebudayaan, kepalanya selalu merendah, gagasannya melangit, idenya menyatu dengan seluruh entitas yang ada.
Tasrifin tak punya sekat, bisa berbicara dengan siapa saja, tidak punya kelas sosial, meskipun ia selalu mengaku, sebagai orang dalam kesultanan Buton. Bagi yang mengenalnya, Tasrifin kadang jenaka. Suatu waktu, ia masuk ke pintu café, wajahnya kusut, rambutnya tak disisir, tapi ia selalu rapi. “Dari mana kaka Prof”, Tanya saya. “Biasa dinda, kampus, habis bimbing mahasiswa”.
Sebagai lelaki eksotis dalam perspektif masyarakat Barat, idenya sangat kental dengan masyarakat subaltern. Budaya, kebudayaan dan antropologi lebih dekat dengan nuansa subaltern dibandingkan dengan pusat-pusat modernitas. Ia menjaga nilai-nilai agung masyarakat lokal, sebab disanalah pijakan pengetahuannya.
Dalam pengukuhannya, Tasrifin berhasil “menyerang” tradisi Marxian. Menurutnya, selama ini kekuasaan dalam kajian-kajian ilmu sosial hanya tertuju pada karya Karl Marx yang melihat kekuasaan dengan adanya perbedaan-perbedaan sosial (social distinctions) dan proses dalam perbedaan-perbedaan tersebut, dan negara berperan sebagai perluasan kekuasaan dari orang-orang yang dominan dalam stratifikasi. Dalam perkembangannya, perhatian kajian kekuasaan tidak hanya pada orang-orang atau pihak yang mendominasi, tetapi juga orang-orang atau pihak yang didominasi (powerless). Tasrifin berusaha membandingkannya dengan Anthony Giddens (1984), yang melihat kekuasaan pada hubungan antar pelaku, yang dihasilkan dalam dan melalui reproduksi terus menerus dalam ruang dan waktu. Ia menarik masuk Michael Foucault (1980) dalam bilik perdebatannya, dimana ilmuwan ini menganalisis dominasi dan resistensi sebagai hubungan kekuasaan.
Tasrifin memandang bahwa Kekuasaan tidak hanya dilihat pada level atas yang menghegemoni. Untuk menguatkan argumen ini, ia meminjam James Scott (1985), yang menunjukkan bahwa kaum lemah tidak hanya bersifat apatis dalam menerima kondisi yang dialaminya, melainkan secara kreatif melakukan berbagai perlawanan terhadap kelompok yang dianggap menguasai mereka dengan menggunakan medium yang ada dalam kebudayaan lokal mereka sendiri.
Dasar-dasar argumen ini menunjukan betapa gaya berpikir Tasrifin berdiri “di pinggir” kekuasaan. Ia tidak melebur ke dalam kekuasaan, tetapi berusaha untuk tetap menjadi kekuatan netral yang menyelimuti dinding gelap kekuasaan. Sebagai “maha manusia”, professor yang disandangnya bukanlah untuk gagah-gagahan. Tetapi untuk berkhidmat pada kemanusiaan, kebudayaan dan entitas kaum pinggiran.
Selamat!
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin