Di sepertiga malam yang penuh hujan deras. Ini bukan malam yang dihabiskan dengan doa untuk kekasih, melainkan malam di mana saya berusaha menerobos hujan dalam perjalanan pulang. Hujan yang deras menghantam wajah seperti sengatan lebah. Dalam perjalanan, saya memutuskan berteduh di sebuah warung kelontong sambil menunggu hujan reda. Gemuruh perut yang keroncongan membuat saya membeli roti dari penjual yang disinggahi, tak ada yang berbeda dengan warung kelontong pada umumnya, selain dari penjualnya bertelanjang dada, memakai sarung yang menjulur sampai ke kepala, dengan badik di celana depan dan parang di kursi tempatnya duduk.
Ada rasa takut dan penasaran di benak, “kenapa dia begitu waspada?” Namun, saya hanya berniat berteduh dan membeli roti. Rasa ingin tahu saya semakin meningkat.
Sekitar satu jam menunggu, hujan tak juga reda. Penjaga warung tanpa banyak bicara menawarkan sebatang rokok. Saya memulai percakapan dengan menanyakan namanya. Dia adalah Fadil, manusia tangguh dari tempat beradat (Kabupaten Bone), anak rantau yang mencari nafkah di Makassar. Fadil putus sekolah sejak kelas 4 SD, dan nampaknya hujan di bulan Juli ini tak seindah puisi Pak Sapardi yang berjudul “hujan di bulan Juni,” bagi Fadil.
“Kenapa badik dan parang selalu di dekatmu?” tanyaku.
Fadil hanya tersenyum tipis dan menunduk, lalu menjawab, “Ini untuk berjaga-jaga.” Kata Fadil tanpa menatap ke arahku.
“Apa yang engkau jaga, Fadil?” lanjut ku lagi dengan posisi berdiri tepat di depannya.
Fadil bercerita, “sudah dua kali saya diserang perampok,” ucapnya sembari duduk membungkuk tanpa semangat sama sekali.
Usianya yang sekitar 18 tahun, Fadil menjaga warung seperti seorang samurai yang menjaga harta para raja. Sangat tragis malam kelam di Makassar bagi Fadil, ketakutan dan kewajiban berbenturan pada dirinya, hanya keberanian yang menemaninya, kendatipun rasa was-was juga berputar-putar di atas kepalanya.
Maraknya kasus begal di Makassar membuat resah para pencari nafkah malam hari. Penjual nasi goreng, penjual gorengan, sampai warung-warung kelontong seperti milik Fadil. Data menunjukkan bahwa, sejak 2022, sudah ada 7.155 kasus pencurian dan upaya pembegalan. Pada 2023, ada 5.670 kasus yang sama, dan tahun ini, 2 Juli 2024, terjadi lagi di dekat warung Fadil. Bahkan 90 persen dari laporan kepolisian semua hanya berasal dari warga, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak melapor seperti Fadil ini dan warung di sampingnya? ini menandakan pengurangannya dalam setahun, hanyalah mereka yang memilih tidak melaporkan, layaknya gundukan es yang ditambah ketidakpercayaan masyarakat dengan kinerja kepolisian.
Tidak ada yang salah antara Fadil dan para begal, akar masalahnya adalah pemerintah gagal membangun perekonomian masyarakat, hari ini kita harus berpijak pada kebenaran, tak lain dan tak bukan ini semua adalah masalah sosial yang sangat-sangat serius, semua tersangka dan korban adalah masyarakat, dan benturan itu sangat nyata.
Makassar tidak termasuk kota paling Bahagia
Makassar tidak ramah. Entah dari mana Makassar mendapat predikat sebagai kota paling bahagia? Kenakalan remaja makin membabi buta, rakyat makin sengsara, saling menjerah satu-sama lain dan pemerintah diam saja. Pram setidaknya berkata bahwa, “Berbahagialah mereka yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka dari usahanya sendiri dan maju dengan pengalamannya sendiri,” bahwa jangan pernah saling merampas satu sama lain, berlaku adil lah sejak dalam pikiran dan perbuatan, demikianlah penggalan kutipan Pramoedya Ananta Toer, bayangkan saja jika kita semua yang berada di posisi Fadil dan para korban, rasanya begitu mengecamnya di malam hari, dan saya menyebutnya sebagai kolonial-urbanisasi, parampok menjajaki sudut-sudut kota di Makassar.
Makassar tidak layak menjadi salah-satu kota paling bahagia, para aparatus telah mereras, mereka semua grasak-grusuk, bahkan hanya menjadi pajangan simbolik hukum, habitus masyarakat telah hancur dan arena-arena makassar bukan lagi milik mereka yang mengalami benturan dengan sesamanya, seperti yang Bourdieu katakan “Arena perjuangan kekuasaan merupakan lingkup hubungan antara berbagai jenis modal,” pemerintah Makassar hanya membentuk dominasinya terhadap masyarakat, mereka semua adalah “Manusia tanpa dada,” demikianlah Friedrich Nietzsche menyebutnya, sebagai manusia tanpa pengorbanan sama sekali. Merekalah para aparatus itu.
Kisah Fadil sang Pemuda tangguh dari kota beradat ini adalah cerminan dari kota penuh ancaman, dan Fadil hanya memperlihatkan perlawanan, kewaspadaan. Badik dan parang yang selalu mendampinginya bagian dari reaksinya, setidaknya instrumen Fadil sangat benar bahwa “polisi tak dapat diandalkan,” Fadil hanya perlu kemandirian dan keberanian untuk menghadapi begal di malam hari.