BudayaOPINIDari “Tanah Tabu” , Jalan Lain Ke Tanah Bati

Dari “Tanah Tabu” , Jalan Lain Ke Tanah Bati

ANINDITA S Thayf  berhasil menjerat pembaca pada kalimat pembuka novel Tanah Tabu. “Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran, dan air mata hanyalah untuk yang lemah.” Gugusan frasa menohok ini adalah “solilokui” orang kecil di pelosok Papua.

Sekira dua tahun, novelis dan esais asal Makassar ini, meriset inang perkara yang melilit orang Papua. Hasil telaahnya, dikemas dalam novel etnografi, Tanah Tabu—oleh sastrawan Linda Christanty, Seno Gumira Ajidarma, dan Kris Budiman didapuknya sebagai Pemenang 1 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)  2008.

Tanah Tabu semacam lanskap perjuangan tiga generasi perempuan Papua: Mabel, Mace, dan Leksi—sebuah keluarga suku Dani, pewaris kekayaan bumi Papua, tetapi nahasnya mereka dibuat miskin oleh Freepot. “Perusahaan di ujung jalan itu hanya setia pada emas kita. Tidak peduli apakah tanah air, dan orang-orang kita jadi rusak karenanya, yang penting semua emas punya mereka. Mereka jadi kaya, kita ditinggal miskin. Miskin di tanah sendiri!”

Sejak April 1967, Soeharto menyusun batu bata kapitalisme dan liberalisasi di tanah Papua, melalui mengesahan UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kurun waktu 1967–1972, setidaknya, terdapat 16 perusahaan pertambangan luar negeri melakukan kontrak karya. Total modal asing masuk di Indonesia, sebesar US$ 2.488,4 juta.

Masuknya investor asing ini, jadi cikal bakal kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup. Diawali oleh PT Freeport Mc Moran Inc atau PT Freeport Mc Moran (PTFM) di Amerika Serikat, menambang di Distrik Tembagapura, Mimika, Papua. Di hutan tropis menyimpan 2,6 miliar ton bahan tambang berupa emas, dan areal seluas 202.950 hektar, perusahaan asal Paman Sam ini bebas memamah “gunung emas” untuk mengenyangkan perut tujuh generasinya.

Setengah abad, bukit Ertsberg dan Grasberg, diporakporandakan mesin pertambangan Freeport. Ironisnya, di sebelah dua bukit “tanah dolar” itu, suku Amungme dan suku Kamoro bertahan hidup dengan tebu dan umbi-umbian. Saban hari suku Amungme dan Kamoro bercocok tanam di gunung sekira 2000–4000 Mdpl dengan kemiringan lereng 45–50 derajat.

Pada 1986, hutan adat Papua dibabat untuk Satuan Pemukiman (SP1). Sejak 1986-1999, orang pendatang di Papua mencapai 15.794 jiwa, tersebar di 13 SP—jumlah ini menyuplai 62 persen dari total keseluruhan penduduk Papua. “Cara pemerintah pusat merebut tanah dan kekayaan alam di Papua melalui program trasmigrasi,” tulis Esther Heidbuchel dalam buku The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches.

Anindita melalui novel Tanah Tabu, mengajak segenap orang menyangsikan bahasa “gula-gula” dari negara dan pemodal. Bahasa gula-gula itu bernama ke-sejahtera-an. Padahal frasa sejahtera hanya tameng untuk menjarah. Sekarang, bahasa gula-gula itu menjalar ke Maluku. Spice Island, sebuah kepulauan yang diburu orang Eropa sejak abad ke-16. Maluku  tak cuma surga rempah-rempah atau herbal, tetapi juga keanekaragaman hayati dan nonhayati, seperti dicatat Georg Eberhard Rumpf dalam Herbarium Amboinense. Atau Alfred Russel Wallace dalam The Malay Archipelago.

Joko Widodo dalam sebuah pidato kenegaraan mendaku: investasi subsektor migas mengalami penurunan tahun 2020 mencapai US$ 10,47 miliar, dibandingkan 2019 mencapai US$ 11, 86 miliar. Hemat Jokowi, surut investasi ini, lantaran sumur produksi migas tiba pada mature stage, fase matang. Itu sebabnya, pemerintahan yang ia pimpin semakin menggeliat membuka lapangan produksi baru—dengan bahasa gula-gula hilirisasi—yang aktivitas eksplorasi merambat ke daerah-daerah timur Indonesia.

Sumber resmi Kementerian ESDM, menyebutkan bahwa instansi terkait telah menandatangani MoU wilayah kerja (WK) migas bersama Taiwan PetroChina, akuisisi sebesar 40 persen. Lion Energy Australia—melalui Balam Energy Ltd, akuisisi sebesar 60 persen di Blok East Seram. Blok East Seram berlokasi di tanah Bati, Kian Darat, Maluku. Komitmen pasti disepakati kontraktor dan pemerintah mencapai US$ 900. 000 untuk kegiatan G&G, seismik 2D 500 kilometer.

Hutan Rusak, Manusia Bati Binasa

Pada akhir Juni 2022, marabahaya menimpa masyarakat adat suku Bati di Kian Darat, Seram Timur, Maluku. PT Balam Energy Ltd dan PT Bureau Geophysical Protecting (BGP), sekonyong-konyong mengebor hutan pusaka suku Bati.

Pengeboran pada lintasan seismik 2D 500 kilometer itu, sejatinya, mengebor tiap “dada” suku Bati. Musababnya, dalam  kosmologi suku Bati, “Yeisa kalu paku tei,” berarti, “kita mancia eya pakutei wak.” Atau “hutan menjadi rusak,” berarti “kehidupan manusia terancam.” Pahaman ini berpangkal pada folklor lisan orang Bati: “Usai ‘banjir bah’ leluhur Bati terbit bersama tanah Bati—atau samos,yakni tanah yang pertama kering.” Itu sebabnya, orang Bati percaya, tindakan manusia merusak tanah atau hutan sama saja membinasa diri dan kehidupan dijalaninya.

Bagi orang Bati, hutan adalah inang kehidupan. Segala hal bermula di sana. Itulah mengapa orang Bati mengkultuskan hutan, sebagai “keramat” atau sesuatu yang sucikan—karena disucikan, tentu ia punya efek magis. Pada masyarakat tradisional, perkara yang dikeramatkan ini, tak boleh disentuh atau dijarah oleh tangan asing.

Dari sinilah, kita tahu, suku Bati punya hubungan budaya dan spiritual yang kukuh dengan hutan. Hubungan “magis-religius” ini, antropolog Stéphane Barelli dari Institut de sciences sociales des religions contemporaines–Observatoire des religions en Suisse (ISSRC), menulis dalam “Des Bati Kelusi de Seram dans les Moluques, en Indonesia”  yang dipresentasi pada 3 November 2015, di museum Barbier-Muellar, Jenewa,  Switzerland.

Sesari yang hendak dikata antropolog Swiss itu, bahwa suku Bati punya kepercayaan tradisional di mana mereka percaya bahwa para leluhur yang memantau kehidupan sehari-hari. “…The conviction that their ancestors monitor daily life…”. Para leluhur ini, kata Barelli, terus mengawasi anak cucu mereka dalam menjaga gunung, sungai, pohon, hewan, dst—atau segala memberi kehidupan bagi orang Bati.

Dan bilamana sumber kehidupan ini dirusak, para leluhur tak segan-segan mendatangkan marabahaya. Kutukan para leluhur ini dapat dimengerti sebagai upayah menjaga kebelanjutan kehidupan. Bukan sebuah agama tradisional, sebagaimana disangkakan Stéphane Barelli. Barelli, bagi Saya telah membuat kesalahan fatal dalam kesimpulan catatan etnografinya. Sebuah kesalahan yang selalu diwanti-wanti dalam kajian etnografi, yakni etnosentrisme—penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai sosial dan standar budaya sendiri.

Kearifan suku Bati dalam melindungi sumber kehidupan, dan menjaga keseimbangan lingkungan, diteliti antropolog Pieter Jacob Pelupessy, satu dekade lalu, dalam studi etnografi Esuriun Orang Bati, tahun 2012. Namun sebagaimana antropolog Stéphane Barelli, antropolog Pieter Jacob Pelupessy juga membuat kesalahan yang sama persis.

Kearifan “ma bangat nai tua malindung”, adalah ikhtiar suku Bati dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Ma bangat nai tua malindung, artinya tiap anak cucu suku Bati wajib menjaga dan melindungi: manusia, tanah, hutan, gunung, identitas, tradisi, adat-istiadat, budaya, lingkungan alam, dan sebagainya dari serbuan orang luar yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam.

Kearifan ma bangat nai tua malindung inimeminjam bahasa Calr Folke, ahli lingkungan asal Swedia, disebut sebagai ekologi lokal. Ekologi lokal adalah gaya hidup diwariskan dari generasi ke generasi melalui nyanyian, kisah, dan kepercayaan tradisional.

Terbit izin perusahaan, habis hutan adat

Pemerintah adalah pihak yang enteng memberi konsesi hutan kepada korporat. Tapi, sulit baginya mencabut izin dan mengembalikan hak hutan pada masyarakat adat. Sejak Soeharto berkuasa, hingga Jokowi, konsesi berupa: Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), izin perkebunan, izin pertambangan, dan konversi lahan.

Ridha Saleh peneliti senior Walhi Institut dalam catatannya di Mongabay. Selama periode 1984-2020, terdapat izin kebun melalui pelepasan hutan di Papua seluas 7,3 juta hektar, dengan 746 izin seluas 6,7 juta hektar, atau lebih 91 persen diberikan sebelum pemerintahan Jokowi. Ihwal disesal Ridha, konsesi pelepasan hutan 7,3 juta hektar ini, justru mengancam 20.000 spesies tanaman, 602 jenis burung, 125 mamalia dan reptil.

Konsesi ini menggusur 7.539 pemukiman masyarakat adat. Perizinan ini membikin bencana ekologis, deforestrasi, juga terjadi perampasan ruang hidup masyarakat adat—ini bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia menjamur di Papua.

Di tepian lain, konsesi ini bikin sengketa lahan makin pelik dari hari ke hari. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2016 terdapat sengketa lahan di Indonesia, mencapai 450 konflik dengan skop wilayah konflik sekitar 1. 265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK. Konflik muncul dari organisasi sektor perkebunan (163), properti (117), infrastruktur (100), kehutanan (25), tambang (21), migas (7), pesisir-kelautan (10), dan pertanian (7).

Pengamatan Wahli di Maluku, sejak 2010, Teddy Tengko Bupati Kepulauan Aru, mengeluarkan izin kepada PT. Menara Group menaungi 28 anak perusahaan dengan total lahan 484.493 hektar, untuk perkebunan tebu. Sedangkan amatan AntaraMaluku, April 2015. Di Seram Bagian Timur, penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan minyak dan gas oleh Citic Ceram Energy Ltd, seluas 562,42 hektar.

Sementara pada tahun 2018, Kementerian ESDM memberi konsensi kepada PT Balam Energy Ltd dan PT Bureau Geophysical Protecting (BGP), untuk kegiatan G&G, seismik 2D 500 kilometer di hutan adat Bati. Aktivitas seismik 2D ini difasilitasi instansi terkait “Kita sudah menghapus beberapa perizinan, regulasi yang selama ini memang kita rasakan menghambat,” kata Ego Syahrial Sekretaris Jenderal Minyak dan Gas Bumi di AntaraMaluku, 11 Agustus 2022.

Dua pekan usai survei seismik 2D, Balam Energi Ltd dicegat masyarakat adat Bati. Aksi protes suku Bati ditandai penanaman sasi secara adat oleh tokoh agama, kepala dusun, dan kuasa hukum masyarakat adat Bati, di lokasi survei seismik 2D. Selain sasi, masyarakat Bati mendesak pihak Balam Energi Ltd melakukan ganti rugi atas tanah yang sudah dilubangi.

Gelombang protes masyarakat adat Bati terhadap survei seismik PT Balam Energy Ltd dan PT Bureau Geophysical Protecting (BGP) terus bertambah. Petisi digalang secara daring di laman change.org menolak aktivitas survei seismik dua perusahaan migas itu, baru 302 ratus orang bubuhkan tanda tangan. Petisi berjudul “Bati Gunung Sakral, Kami Tolak Tambang!” dibuat oleh Apriliska Titahena dan ditunjuk kepada Presidan Joko Widodo, Siti Nurbaya Bakar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yasonna Laoly Menteri Hukum dan HAM.

Nyanyian duka masyarakat adat

Dalam kurun waktu 2009-2021, setidaknya, ada 10 sengketa lahan di Maluku. Mulai dari masyarakat Kepulauan Tanimbar versus PT Karya Jaya Berdikari (2009), warga Latea di Seram Utara Barat versus PT. Nusa Ina Group (2010), orang Kayeli versus penambang ilegal (2011), warga pulau Romang versus PT. Gemala Borneo (2012), masyarakat Kepulauan Aru versus PT Menara Group (2013).

Disusul suku Nuaulu melawan PT. Bintang Lima Makmur (2015), warga Djamona Raa, Rebi, Aru menentang CV Cendrawasih (2017), warga Sabuai menolak CV Sumber Berkat Makmur (2020), orang Taniwel berkonflik sama PT Gunung Makmur Indah (2020), masyarakat Marafenfen Aru melawan TNI AL (2021).  Sekarang, suku Bati menolak PT Balam Energy Ltd dan PT Bureau Geophysical Protecting.

Gerakan SaveBati, adalah ‘gunung es’ dari lanskap perjuangan masyarakat adat menuntut hak atas kedaulatan hutan adatnya. SaveBati menambah deretan panjang konflik lahan itu, sebab Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, pada tahun 2016 terdapat sengketa hutan adat di Indonesia mencapai 450 konflik dengan skop wilayah konflik sekitar 1. 265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK.

Sejarah perampasan hutan adat di Indonesia, dimulai dari masa kolonial. Saat bangsa Eropa membuat koloni di Nusantra, hak atas tanah berpindah tangan. Oleh kolonial, rakyat jelata terus diintai, mereka takboleh mengolah hutan, tanpa izin kompeni—inilah cikal bakal perampasan hutan adat.

Praktik perampasan hutan adat ini terus berlanjut hingga kemerdekaan Indonesia. Dan puncaknya pada Orde Baru Soeharto. Razim militer itu, memberlakukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 1 angka 6, “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat.” Lalu, pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), secara eksplisit “hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.

Akhirnya, pada 16 Mei 2013. Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)—perkara Nomor 35/PUU-X/20121. MK memutuskan, “hutan adat” termasuk “hutan hak”, bukan “hutan negara”. Itu artinya, hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara yang berada di bawah penguasaan Kementerian Kehutanan; tetapi hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Namun dalam praktiknya, Putusan MK 35, belum sepenuhnya membebaskan hutan adat dari belenggu negara. Pasalnya sebulan usai putusan, Kementerian Kehutanan terbitkan Surat Edaran Nomor SE.1/Menhut-II/2013. Secara ekplisit, pelepasan hutan adat dari kawasan hutan negara hanya dapat dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, apabila ada persetujuan dari pemerintah daerah. Sialnya, tak satupun pemerintah daerah yang serius mengawal Putusan MK 35. Di sinilah, letak “bahasa game” yang dipakai oleh pemerintah pusat atau korporat yang suka ‘main gila’ di kawasan hutan adat.

Di pusaran menggeliat penghisapan masyarakat adat, kehadiran undang-undang masyarakat adat jadi hal penting dan fundamental, guna terpenuhi hak konstitusional komunitas adat. Tetapi, sejak era Susilo Bambang Yudoyono, dan kini Joko Widodo, cuma sebatas “draf”.

Di tepian lain, hutan-hutan pusaka terus dirampas, dibikin perkebunan sawit, pertambangan, izin-izin konsesi kehutanan dan konservasi. Andai masyarakat adat setempat melawan, pihak perusahaan dibeking penguasa, menginjak-injak komunitas adat ini—negara sebagai pengayom, malah menampakkan tangan besi menghajar rakyatnya. Mafhum, dalam struktur sosial hierarki, kata Karl Marx, kaum mapan kerap memeras kaum jelata.

Syahdan, dari “tanah Tabu”, kita belajar untuk pergi ke tanah Bati. Sebuah alegori sekaligus “alarm” bagi masyarakat adat dalam mempertahankan hutan pusakanya. “Perusahaan di ujung jalan itu hanya setia pada emas kita. Tidak peduli apakah tanah air, dan orang-orang kita jadi rusak karenanya, yang penting semua emas punya mereka. Mereka jadi kaya, kita ditinggal miskin. Miskin di tanah sendiri!” Dari Tanah Tabu, orang Bati harus belajar, “yang terjadi di Papua adalah perampasan, pemiskinan, dan kekerasan yang abadi. Tidak dengan yang lain.” Waspadalah!.

Ishak R. Boufakar adalah manusia kecil dari gunung Bati di pelosok Seram Timur. Ishak melancong ke Makassar untuk bisa belajar filsafat di Lentera, belajar menulis di Paradigma Institut, belajar isu-isu cultural studies di Universitas Hasanuddin, dan belakangan Ishak menjadi tukang bersih buku di perpustakaan Penerbit Subaltern.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita terkait

Berita Terbaru