MAKASSAR. UPOS.ID — Sejak beredarnya foto yang ditengarai hasil survei Polmark untuk Pilgub Sulsel, banyak spekulasi yang beredar tentang siapa yang akan punya peluang besar menjadi Gubernur Sulsel di tahun 2024.
Sehubungan dengan itu, Direktur Profetik Institute saat dimintai keterangannya pagi tadi mengatakan bahwa model agregasi merupakan hal baru bagi publik, selama ini yang cukup akrab dengan publik adalah pemaparan persentase elektabilitas setiap figur, yang lalu diuraikan lebih lanjut menjadi sebaran persentase elektabilitas per Dapil.
“Model agregasi adalah hal baru bagi sebagian orang, apalagi foto yang beredar mungkin saja tidak diniatkan oleh Polmark sebagai konsumsi publik. Jika kita melihat foto yang beredar, maka terlihat dengan jelas hitungan persentase elektabilitas secara total didapat dari hitungan persentase per Dapil DPR RI, diamana setiap Dapil memiliki jumlah sampel yang berbeda-beda yang mungkin disesuaikan dengan jumlah pemilih. Cuman kita belum mengetahui pasti, apakah pengambilan data di ketiga dapil, dilakukan dalam waktu bersamaan atau tidak. Karena secara metodologis, variabel waktu adalah hal yang sangat berpengaruh terhadap preferensi politik”, tegas Asratillah
Asratillah juga menjelaskan lebih lanjut, bahwa masih terlalu dini, jika kita menjadikan hasil survei yang beredar untuk menentukan figur siapa yang paling berpeluang ataupun tidak, di tahun 2024. Walaupun hasil ini bisa dijadikan sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja politik figur ataupun mesin politik selama ini, dan masih ada waktu yang sangat cukup untuk melakukan pembenahan-pembenahan.
“Pilkada 2024 masih lama, hasil survei tersebut masih terlalu dini dijadikan instrumen untuk menyimpulkan siapa yang akan menjadi Gubernur Sulsel mendatang, masih ada rentang waktu 2 tahun lebih. Namun tidak salah juga dijadikan sebagai bahan untuk mengevaluasi kinerja politik dari aktor atau mesin politik tertentu. Masih ada waktu yang masih cukup untuk melakukan perbaikan, pembenahan bahkan percepatan langkah-langkah politik di masa mendatang”, ungkap Asratillah.
Asratillah juga menegaskan “banyak dari nama bakal kandidat gubernur, masih menjabat sebagai kepala daerah, dan banyak juga yang menjabat sebagai pimpinan bahkan ketua partai. Bagi yang menjabat kepala daerah, masih fokus dalam menyelesaikan sisa tugas yang masih ada. Bagi yang menjabat sebagai fungsionaris parpol, pasti akan lebih fokus melakukan konsolidasi parpol, apalagi di jadwal KPU, Pileg-Pilpres lebih dahulu dilaksanakan dibanding Pilkada”.
Bagi Asratillah, yang paling dibutuhkan oleh publik saat ini adalah edukasi politik berupa, sosialisasi visi setiap bakal kandidat. Tidak terlalu berfaedah untuk membuat gemuruh ruang publik hanya dengan capaian persentase elektabilitas.
“Tidak terlalu berfaedah juga untuk mebuat publik hiruk-pikuk dengan publikasi hasil survei. Kita mesti mengembalikan hasil survei ke fungsi utamanya, yakni sebagai sarana pemetaan politik dalam rangka mendesain strategi politik yang lebih efektif. Yang dibutuhkan publik adalah pengetahuan yang cukup akan visi dari setiap bakal kandidat , tawaran langkah-langkah dari bakal kandidat tentang bagaimana memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat. Karena yang akan menentukan maju tidaknya Sulsel ke depan adalah visi dari Gubernur yang akan terpilih, bukan dari persentase perolehan suaranya”. Pungkas Asratillah.